- Opini
Gaya Hidup Sehat Dan Bisnis Apparel Yang Melesat
21 Januari 2021 , 18:38

Oleh Mohammad Widyar Rahman*
Selalu ada berkah di balik musibah. Pandemi berkepanjangan ini, misalnya, berhasil mengubah pandangan dan perilaku sebagian besar orang soal kesehatan. Gaya hidup sehat pun wajib jadi prioritas.
Berolahraga menjadi salah satu caranya. Tengok saja aktivitas jalan kaki, lari, bersepeda, futsal, gym, dan beragam kegiatan olahraga lainnya, makin banyak diikuti orang sebagai aktivitas rutin. Berangsur, olahraga pun bertransformasi menjadi gaya hidup.
Nah, ketika aktivitas olah fisik ini jadi gaya hidup, pakaian olahraga pun makin banyak diburu. Tak hanya sebagai kebutuhan kenyamanan selama berolahraga, tetapi juga sebagai bentuk aktualisasi dari kebutuhan fesyen. Pendeknya, olahraga pun butuh gaya. Tak hanya sekadar memakai celana kolor dan kaus oblong semata.
Karena pandemi yang membuat orang banyak tinggal di rumah, gaya sporty pun tak hanya diterapkan saat berolahraga, tetapi juga makin banyak digunakan di luar kegiatan berolahraga. Lunturnya tuntutan untuk berpakaian formal atau elegan karena kebijakan Work from Home (WFH), misalnya, membuat banyak orang memilih bergaya sporty, kasual, atau memadu padankan kedua gaya tersebut.
Kondisi ini, boleh jadi dapat menjadi kebiasaan sehingga menyebabkan adanya pergeseran gaya berpakaian dari formal ke kasual pascapandemi. Memang, industri fashion sangatlah dinamis. Perkembangannya bergantung pada keselarasan antara permintaan konsumen dan rencana produksi, baik ukuran, warna, hingga desain, sesuai dengan preferensi dan kebutuhan pelanggan.
"Permintaan fesyen item yang nyaman dan rileks nampaknya belum akan berubah," kata Morgane Le Caer, editor data dari platform pencarian fesyen Lyst dikutip dari Guardian dan dilansir Antara, Selasa (5/1/2021).
Menurutnya, orang-orang juga suka berpakaian bagus di masa sulit ini untuk menunjukkan optimisme dan rasa positif. Tak heran, Asos, peritel mode dan kosmetik online Inggris, pada tahun 2020 sukses menjual 188.000 pasang legging 4505 mereka pada musim semi dan tiga juta pasang sepatu kets Nike.
Di tempat lain, penjualan jaket puffer naik 80% di Lyst. Vanessa Spence, Direktur Desain Lyst mengatakan, tampilan kasual yang dipengaruhi olahraga akan tetap penting bagi pelanggan Gen Z.
"Loungewear menyatu dengan kehidupan sehari-hari, menawarkan pakaian yang akan membawa mereka dari sofa ke supermarket," katanya. "Kami pikir ada peluang nyata untuk kategori ini untuk berkembang lebih jauh," imbuhnya.
Koleksi busana denim semi-formal juga tampak dalam Alexander McQueen, serta celana pendek bersepeda dan blazer di Saint Laurent. Celana pendek bersepeda, tampaknya menjadi hit dan telah teruji di jalan oleh bintang "Emily in Paris", Lily Collins.
Dalam dinamikanya tersebut, industri pakaian jadi dalam negeri, diyakini menghadapi tantangan luar biasa. Mulai dari banjir produk impor pada industri hilir, hingga biaya energi dan ketergantungan impor bahan baku di industri hulu.
Asal tahu saja, industri tekstil bukanlah industri kaleng-kaleng. Pada kuartal II/2020, industri TPT memberikan kontribusi terhadap PDB sektor industri pengolahan nonmigas sebesar 6,93%. Dilihat dari kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional, industri TPT juga menempati urutan keempat menjadi kontributor terbesar yang mencapai 1,24%.
Lebih lanjut, Kemenperin mencatat laju pertumbuhan industri TPT terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2019, industri TPT tumbuh 15,35% atau naik signifikan dibanding 2018 yang mencapai 8,73%. Pertumbuhan ini didukung tingginya produksi pakaian jadi di sentra industri TPT.
Pada 2019 lalu, secara spesifik, industri pakaian mencatatkan ekspor sebesar US$8,24 miliar, dengan yang bersumber dari jenis knitted atau crocheted mencapai US$3,76 miliar. Sementara itu, jenis not knitted atau crocheted mencatatkan nilai sebesar US$4,47 miliar.
Sekilas Perbandingan
Bangladesh, salah satu lokasi produksi tekstil global, industri tekstilnya juga ikut terdampak selama pandemi. Bahkan, pada awal pandemi, sempat terjadi penutupan pabrik.
Berdasarkan data BGMEA (2020), selama periode Juli-Desember 2020 ini, ekspor pakaian jadi (woven+knit) Bangladesh sebesar US$15,55 miliar. Angka ini menurun 2,99% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$16,02 miliar.
Bahkan, apabila dibandingkan secara tahunan antara periode 2018-2019 dan 2019-2020, capaian ekspor Bangladesh ke seluruh negara menurun sebesar 18,12% atau dari US$34,13 miliar menjadi US$ 27,9 miliar.
Industri tekstil Bangladesh memang tak terlepas dari tantangan. Bangladesh tertinggal dari para pesaingnya dalam hal pengembangan produk dan waktu tunggu. Padahal, keduanya merupakan faktor yang sangat penting. Sayangnya, di saat para pesaingnya menawarkan produk-produk inovatifnya, Bangladesh masih berada pada level mempertanyakan produk apa yang bisa diproduksi.
Begitu pula dengan Vietnam yang merasakan dampak berat dari pandemi terhadap industri tekstilnya. Tercatat, berdasarkan data ekspor pakaian jadi bulanan (GSO, 2020), Vietnam mengawali tren positif selama Januari-Februari 2020 dengan mencapai US$ 50,3 juta pada Februari 2020. Kemudian, sejak Maret mulai mengalami penurunan 7,5% (MoM), dan mencapai titik terendahnya pada April, yakni menurun hingga mencapai 64,7% (MoM).
Apabila dilihat secara tahunan, berdasarkan data tahun 2019 (GSO, 2020), ekspor pakaian jadi Vietnam tertinggi ke Amerika Serikat hingga mencapai US$186,33 juta dari total US$588,89 juta. Pada 2020 (data hingga November 2020), ekspor pakaian jadi Vietnam tercatat sebesar US$406,94 juta, tertinggi ke Amerika Serikat yang mencapai US$ 81,17 juta.
Meskipun Vietnam memiliki keuntungan dari EVFTA (European Union-Vietnam Free Trade Agreement), ekspor pakaian jadi bukanlah yang tertinggi ke Uni Eropa. Pada 2020, ekspor didominasi oleh barang elektronik seperti komputer, instrumen, dan telepon. Untuk jenis tekstil, hanya sekitar 7,8% dari total ekspor ke Uni Eropa.
Vietnam secara tradisional berfokus pada produksi garmen dengan sedikit kapasitas untuk pembuatan kain. Pada tahun 2020 saja (data hingga November 2020), impor kain tekstil Vietnam dari China mencapai US$6,52 miliar.
Secara global, seiring pertumbuhan populasi penduduk, kebutuhan pakaian jadi pun akan terus meningkat. Negara-negara produsen juga berupaya menopang industrinya dari dampak negatif pandemi. Salah satunya dengan berusaha melakukan diversifikasi produk dan pasar di era persaingan dunia usaha yang semakin kompetitif.
Membangun Kemandirian
Menurut McKinsey (2021), silver linings amid the clouds. Meskipun pandemi telah memberikan dampak krisis terhadap bisnis dan pekerjaan, kondisi ini justru bisa mempercepat respons strategis dalam jangka panjang.
Beberapa perusahaan juga aktif mengambil kesempatan selama krisis, mengalibrasi ulang model bisnis mereka. Pada umumnya, mereka beralih dari ritel fisik ke platform digital-first atau digital-only.
Upaya untuk bangkit dari keterpurukan memang membutuhkan waktu. Apalagi, pada kondisi masih tak menentu karena pandemi. Strategi memperluas pasar luar negeri sambil mengamankan pasar dalam negeri dari membanjirnya produk impor di industri hilir tekstil, misalnya, perlu dilakukan dengan tepat.
Untungnya, secara global Indonesia juga memiliki kerja sama perdagangan terkait tekstil dan produk tekstil ini, baik dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, hingga Australia. Hal ini berpotensi mengerek ekspor ke negara tujuan ekspor.
Namun, satu yang pasti, apabila melihat industri tekstil secara umum, industri ini belum ditopang oleh industri hulu yang kuat. Hal ini dapat dilihat dari ketergantungan yang tinggi terhadap impor bahan baku tekstil. Berdasarkan data BPS (2020), pada periode 2017-2019, impor cotton Indonesia saja rata-rata mencapai 608,8 juta ton per tahun.
Perlu dicatat, peningkatan produksi pakaian jadi tidak hanya memerlukan kebijakan safeguard dalam menghadang laju impor, tetapi juga harus ditunjang dengan industri hulu tekstil yang memadai. Salah satunya dengan adanya dukungan modal dan teknologi dalam menopang industri hilirnya.
Dilihat dari struktur biaya saja, Dewi et. al. (2018) mengatakan biaya modal pada industri hulu tekstil, baik fibre making, spinning, maupun knitting, mencapai lebih dari 50% dari total struktur biayanya. Beban tertinggi berikutnya ada pada beban energi yang cukup tinggi, terutama pada industri fibre making yang mencapai 25% dari total struktur biayanya. Disusul industri spinning mencapai 18,5% dan industri knitting mencapai 14,4% dari total struktur biayanya.
Hal tersebut mengindikasikan pentingnya peningkatan efisiensi energi di industri tekstil hulu, melalui konservasi energi dalam upaya meningkatkan produktivitas industri. Hal ini dapat dicapai melalui modernisasi teknologi di industri tekstil, terutama dalam menghadapi yang digemborkan sebagai revolusi industri 4.0.
Di samping itu, kasus impor ilegal yang terjadi menyiratkan bahwa industri tekstil seharusnya dapat meningkatkan sistem transparansinya. Visibilitas tidak lagi hanya tentang melacak asal pengiriman barang, namun juga mencakup wawasan tentang asal bahan baku, status produk, pesanan dan pengiriman, serta akses yang efisien hingga informasi tentang aliran produk, waktu tunggu, dokumen, inventarisasi, dan biaya (Raparia, 2017).
Bagaimanapun, membangun kemandirian industri pakaian jadi sejak dari hulu, penting dilakukan. Pada masa pandemi, ketika hampir semua pelaku industri serentak membatasi ekspansi, mungkin jadi saat yang baik untuk melakukan kontemplasi dan rekalibrasi yang lebih mendasar.
Patut diingat, baju atau pakaian jadi, tetaplah barang kebutuhan primer yang akan terus dibutuhkan setelah kebutuhan makan terpenuhi. Karenanya, di tengah kesulitan, peluang usaha akan selalu ada.
Jika permintaan akan baju seragam sekolah dan seragam kerja berkurang di masa pandemi. Toh para produsen bisa memanfaatkan tren berolahraga dengan memproduksi pakaian olahraga yang stylist dengan harga yang affordable dan tak kalah mutu dengan brand global yang tersohor.
Peluang lain, manfaatkan saja momentum ramainya orang berolahraga di masa pandemi dengan memproduksi pakaian olahraga untuk kaum muslimah yang jumlahnya sangat besar di Indonesia. Celah ini belum banyak disesaki oleh brand-brand besar pakaian olahraga. Bahkan, keunggulan ini bukan tak mungkin jadi senjata menggenjot ekspor.
Lagi-lagi, jika ekspor di sisi hilir bisa terakselerasi, yakin lah industri hulu yang memproduksi filamen sampai kain dan lainnya, bisa ikut tergenjot. Pemerintah? Ya, harus dukung, dong. Mereka sudah tahu kok, apa yang harus dilakukan. Sudah terlalu banyak analisis pakar dan riset-riset yang bisa jadi acuan untuk menelurkan kebijakan yang oke.
*) Peneliti Visi Teliti Saksama
Referensi:
Antaranews. 2021. "Loungewear" masih jadi tren di 2021. https://www.antaranews.com/berita/1928404/loungewear-masih-jadi-tren-di-2021
[BGMEA] The Bangladesh Garment Manufacturers and Exporters Association. 2020. Trade Information: Bangladesh’s Ready-Made Garment (RMG) to The World. https://www.bgmea.com.bd/export-performances/4 [di akses pada tanggal 19 Januari 2021]
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2020. Data Ekspor - Impor. https://www.bps.go.id [di akses pada tanggal 19 Januari 2021]
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2020. [Seri 2010] Distribusi PDB Triwulanan Seri 2010 Atas Dasar Harga Berlaku (Persen), 2020. https://www.bps.go.id/indicator/11/106/1/-seri-2010-distribusi-pdb-triwulanan-seri-2010-atas-dasar-harga-berlaku.html [di akses pada tanggal 19 Januari 2021]
Dewi R G, R Parinderati, W D Bayuwega, I Hendrawan, M. W B. Dewantoro. 2018. Energy Efficiency Monitoring in Textile Industries for Achieving GHG Emission Reduction Target in Indonesia. LoCARNet 7 th Annual Meeting, Jakarta, 21-22 November 2018. Center for Research on Energy Policy – INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG.
[GSO] General Statistics Office of Vietnam. 2020. Preliminary Exports and Imports of Goods by Main Countries and Territories In 2020. https://www.gso.gov.vn/en/import-export/ [di akses pada tanggal 19 Januari 2021]
[GSO] General Statistics Office of Vietnam. 2020. Preliminary Exports and Imports of Goods by Main Countries and Territories In 2019. https://www.gso.gov.vn/en/import-export/ [di akses pada tanggal 19 Januari 2021]
McKinsey & Company. 2021. The State of Fashion 2021. McKinsey & Company
Raparia P. 2017. Supply Chain Management in Textile Sector: A Sequential Process. IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM), 19, (8). Ver. III.: 43-50.
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN