• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Yudisial

Fenomena Kekeyi dan Potret Pengelolaan Royalti

Potensi royalti musik Indonesia di luar negeri mencapai Rp 3 triliun. Kerapian database masih jadi sandungan
13 Juni 2020 , 17:48
Ilustrasi hak cipta musik. Shutterstock/dok
Ilustrasi hak cipta musik. Shutterstock/dok

JAKARTA – Video lagu berjudul Keke Bukan Boneka yang dinyanyikan vlogger kecantikan Rahmawati Kekeyi Putri Cantika atau yang biasa disapa Kekeyi menuai polemik sejak diunggah di platform YouTube, Kamis (28/5). Kekeyi dianggap mencuri judul dan sepotong aransemen dari lagu yang berjudul hampir mirip, Aku Bukan Boneka yang dibawakan Rinni Wulandari pada tahun 2007.

Dengan alasan melanggar hak cipta, video berdurasi tiga menit 25 detik itu sempat hilang dari peredaran pada 5 Mei dini hari. Video baru muncul kembali pada pukul 15.00 WIB pada hari yang sama. Belum jelas alasan video muncul kembali, Kekeyi kembali tersandung isu plagiarisme. Lagu Keke Bukan Boneka dituding menjiplak lagu anak-anak ciptaan Papa T Bob.

Persoalan hak cipta serupa yang melibatkan YouTube bukan yang pertama. Mantan vokalis Payung Teduh, Mohammad Istiqamah Djamad (Is) atau Pusakata sempat memperingatkan artis yang menyanyikan ulang (cover) lagu Akad di YouTube untuk meminta izin lebih dulu kepada timnya sebelum menyanyikan ulang untuk kepentingan komersial.

Is Pusakata melalui akun instagramnya menyampaikan, aktivitas digital cover lagu Akad semakin brutal sehingga perlu ditertibkan. Mulai banyak artis cover yang menjual rekaman nyanyian ulang ke penyedia digital music streaming, seperti, Spotify, Itunes dan banyak dari artis yang menyanyikan Akad di TV tanpa izin.  

Semakin populernya media sosial memantik lebih banyak aktivitas cover lagu. Terlebih video menyanyikan ulang lagu orang dapat mendatangkan uang melalui mekanisme monetisasi (monetized). Sayangnya, belum semua orang memahami bahwa karya lagu tertentu terikat hak cipta. Jadi, ketika karya tersebut digunakan dengan tujuan komersial, pemegang hak cipta berhak atas hak moral dan hak ekonomi.

Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Freddy Harris menjabarkan hak cipta sebagai hasil karya intelektual yang berkaitan dengan seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Erat kaitannya dengan musik, film, buku, alat peraga pendidikan, dan software.

Setiap orang yang hak cipta karyanya dilanggar, kata Freddy, dapat menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Mereka bisa melaporkan ke DJKI untuk ditindaklanjut.

“Hak cipta itu delik aduan. Jadi, orang harus pengaduan dulu baru kita tindak. Pengaduan kini juga daring untuk menghindari pungli,” kata Freddy saat berbincang via telepon dengan Validnews, Rabu (10/6).

Agung Damarsasongko, Kasubdit Pelayanan Hukum Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri DJKI dalam akun YouTube DJKI menjelaskan lebih jauh. Perlindungan hak cipta bersifat otomatis. Ketika karya sudah berwujud atau konkret, maka sudah memiliki hak cipta. Tanpa mendaftarkan hak cipta ke pemerintah pun karya itu sudah dilindungi. Namun, lanjut Damar, pencatatan di DJKI akan memudahkan orang dalam hal pendokumentasian.

Pencatatan menjadi suatu legitimasi mutlak. Saat karya disengketakan, pemilik hak cipta memiliki kekuatan hukum karena karyanya sudah dicatatkan. “Pencatatan ciptaan bukan melahirkan hak seseorang, tapi mencatat hak yang sudah pernah ada,” ungkap Agung.

Berbicara hak cipta melekat dua hak lain, yakni hak moral dan hak ekonomi. Hak moral bersifat abadi terkait nama pencipta dan isi ciptaan. Sementara, hak ekonomi adalah hak yang terkait pemanfaatan untuk melakukan penggandaan, pendistribusian, dan pengkomunikasian kepada publik. Jika satu karya dialihkan ke pihak lain, hak ekonomi turut beralih.

Di sisi lain, lanjut Agung, menyanyikan lagu orang lain bukan untuk kepentingan komersial boleh saja. Namun, ada syarat mutlak yang harus dilakukan. UU Hak Cipta mengatakan, penggunaan lagu untuk kepentingan komersial harus meminta izin lebih dulu kepada penciptanya. Ada juga perjanjian kedua pihak bahwa hasil pendapatan dari aktivitas menyanyikan ulang atau pertunjukan lainnya.

Sejumlah Musisi Mulai Bersuara
Maraknya aktivitas cover lagu di platform YouTube bukan saja marak di Tanah Air. Di Barat sana, ada kelompok musik yang memang ‘hidup’dari membawakan karya-karya musisi lain, semisal Boyce Avenue dan Teresa Teng. Bahkan, karya-karya tersebut diperjual-belikan dalam berbagai platform. Bagusnya, di sana, musisi lebih paham persoalan hak cipta dan hak ekonomi yang harus dipenuhi.

Di dalam negeri, sejumlah musisi risau akan ini. Anji, Badai eks Kerispatih, dan Marcell Siahaan mulai bersuara terkait hal ini. 

Melalui diskusi Instagram Live bertajuk Konten Asyik, Tanpa Polemik yang digelar Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI), Selasa (9/10), Marcell mengaku senang-senang saja bila karyanya dinyanyikan ulang oleh orang lain. Buat dia, ini berarti karyanya dapat dikenal lebih luas lagi.

Patut diingat, sebelum memulai meng-cover lagu sebaiknya mengetahui aturan main (terms and condition). Jika hasil cover secara ekonomi dimonetisasi atau diolah menjadi menghasilkan, dan sudah mencapai level tertentu, penyanyi cover harus punya itikad baik melapor ke pemegang lisensi. 

“Hak cipta dasarnya adalah itikad baik. Hubungannya dengan akhlak. Jadi kalau mau pakai konten dan hal/lisensinya punya orang lain sudah sepantasnya kita izin dulu, lepas dari dimonetisasi atau tidak,” kata Marcell, musisi yang menjabat Ketua Umum Performers Right Society of Indonesia (Prisindo), organisasi para musisi dan penyanyi Indonesia.

Bertepatan dengan Hari Musik Nasional pada Senin tanggal 9 Maret 2020 kemarin, Prisindo mendistribusikan royalti sebesar Rp3,1 miliar kepada para anggotanya. Lima penyanyi penerima royalti itu, antara lain Via Valen, Anji, Judika, Iwan Fals, dan Cita Citata. Untuk kategori band ada Armada, NOAH, Ungu, Seventeen, dan Naff. 

Lebih dari sekadar angka, menurut Marcell musisi berhak atas hak moral karyanya. Pasalnya, musisi kini sudah menjadi subjek hukum.

“Bukan hanya mengenai membayar imbalan atas apa yang dipakai dari konten tersebut, tapi juga penghargaan. Kita ini sudah jadi subjek hukum. Tanpa ada yang menghormati kita sudah terhormat,” tutur Marcell.

Menanggapi kasus video Keke Bukan Boneka, Marcell menilai hal itu sudah termasuk pelanggaran Pasal 44 UU Hak Cipta. Disebutkan pada Pasal 44 bahwa penggunaan produk seluruhnya atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika sumbernya disebutkan secara lengkap.

Menurut Marcell, ada bagian khas dari lagu Aku Bukan Boneka milik Rinni Wulandari yang dipakai di lagu Keke Bukan Boneka dan itu termasuk pelanggaran. Namun, menurutnya, kata ‘substansial’ pada Pasal 44 itu juga perlu diperinci lagi untuk ke depannya.

“(Definisi substansial) Terlalu kabur, luas. Apakah yang dimaksud style atau ambience? Kalau gitu semua orang bisa kena,” ujarnya.

Agung Damarsasongko dalam diskusi yang sama menambahkan, bahwa ke depan platform digital music streaming harus ikut bertanggung jawab bila ada musisi cover yang menjual lagu ke platform mereka. Menurut Agung, ada ketentuan yang memang mesti ditambahkan bila seseorang akan mengunggah lagu hasil cover.

“Ada ketentuan-ketentuan untuk orang mau mengunggah harus ditambahkan karena isunya terkait konten-konten yang tidak melanggar. Dia (platform streaming) bahwa konten merugikan banyak pihak,” jelas Agung.

Prosedur Izin Dinilai Ribet
Sebelum isu terkait hak cipta mencuat di muka publik, sekitar tahun 2009, Audrey Tapiheru dan Gamal Tapiheru yang kini menjadi musisi profesional juga memulai karier di Youtube. Keduanya banyak membawakan lagu-lagu orang lain. Bahkan, artis sekelas Justin Bieber pun memulai kariernya melalui YouTube. Kala itu, isu hak cipta belum muncul. 

Tahun-tahun berikutnya semakin banyak orang mencari peruntungan di Youtube. Salah satunya, Farah Fairuz (24) yang kini sudah memiliki 4.650 subscribers. Farah memulai kegiatan cover lagu pada tahun 2009 sampai sekarang. 

Bermula dari kegemarannya bernyanyi dan bermain gitar, Farah mulai memberanikan diri mengunggah video dirinya. Farah yang juga berprofesi sebagai penyiar radio ini mengaku sudah dua tahun belakangan memonetisasi video Youtube-nya. Setiap bulan, pendapat Farah dari Youtube senilai Rp4–Rp5 juta.

“Alhamdulillah, setiap bulan sekarang sudah dapat Rp 4 juta sampai Rp 5 juta,” kata Farah kepada Validnews, Rabu (10/6).

Selama kariernya meng-cover lagu di YouTube, Farah mengaku pernah tersandung kasus hak cipta. Sayangnya, dia tidak ingat lagu apa yang dinyanyikan ketika itu. Kendati begitu, bukan berarti Farah awam terkait konsep hak cipta. Dia mengaku paham bahwa dalam menyanyikan lagu orang ada aturan hak cipta yang mesti dipatuhi.

Namun, secara pribadi Farah menganggap prosedur perizinan ke pemegang hak cipta sebelum meng-cover lagu terbilang rumit. Dia tidak pernah meminta izin lebih dulu ke musisi asli sebelum menggunakannya. Toh, menurut Farah, kegiatan bernyanyinya tidak berbasis komersial.

“Aku selama ini bukan mengejar uangnya, jadi aku cover izin dulu itu enggak sih. Dan, harusnya bangga enggak sih kalau lagu kamu di- cover ? Cuma mungkin namanya orang (musisi) beda-beda, ya,” ungkap Farah.

Untuk menghindari terkena kasus hak cipta, Farah kini hanya akan menyanyikan lagu yang memang tidak memiliki hak cipta. Untuk lagu-lagu yang memiliki hak cipta hanya bagian visualnya saja yang dimonetisasi, sedangkan bagian audio tidak dimonetisasi.

Dari kalangan produser, CEO Nagaswara, Rahayu Kertawiguna mengatakan, kegiatan meng-cover lagu memiliki dampak positif dan negatif. Positifnya, orang-orang pada zaman sekarang bisa mengetahui lagu lama yang pernah hits di tahunnya.

Negatifnya, banyak pencipta lagu yang tidak setuju dengan hasil aransemen ulang lagunya. Contohnya, ada lagu yang diaransemen ulang, namun nuansa dan notasi berbeda jauh dari buatan pencipta aslinya.

“Masalah utamanya adalah mereka yang meng-cover ulang lagu itu tak meminta izin kepada publishing atau pun ke penciptanya,” kata Rahayu kepada Validnews, Jumat (12/6).

Pengcover lagu harus meminta izin kepada penciptanya. Apalagi, permintaan izin itu tak perlu mengeluarkan biaya. “Sebetulnya izin itu utama baik cover version untuk disiarkan ke umum atau dinikmati sendiri itu harus ada izin dari orangnya. Mungkin tidak perlu bayar tapi harus ada izin dari penciptanya,” jelasnya.

Hal ini, lanjut dia, untuk menghindari permasalahan pada kemudian hari. Misalnya, pencipta lagu memberikan komplain atau melaporkan akun media sosial yang mengunggah musik coveran karyanya. Laporan itu, bisa membuat penyedia jasa men-take down konten tersebut.

“Jadi yang diuntungkan sejauh ini dalam kegiatan cover ini adalah pihak YouTube-nya. Karena rata-rata youtubers itu mengabaikan izin,” tambah Rahayu.    

Aktivitas digital ini kemudian mulai dilirik pemerintah. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan akan mengawasi rekening para youtuber dan selebgram yang memiliki saldo di atas Rp1 miliar. Para pekerja kreatif ini diharapkan patuh dalam membayar pajak.

Dirjen Pajak menganggap youtuber, termasuk selebgram saat ini sudah menjadi salah satu mata pencaharian. Sebab itu mereka diwajibkan membayarkan pajak sepanjang penghasilannya berada di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 

Saat ini, PTKP untuk pekerja tidak kawin ditetapkan Rp54 juta, kawin belum memiliki anak Rp58,5 juta, kawin dengan satu anak Rp63 juta, dan kawin dengan dua anak Rp67,5 juta.

Jika Youtuber kedapatan tidak patuh, akan ditindak sama seperti wajib pajak lainnya.

Sesuai UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, Ditjen Pajak kini memiliki data rekening nasabah dengan saldo paling sedikit atau setara Rp 1 miliar.

Laporan saldo rekening nasabah langsung diterima Ditjen Pajak dari lembaga keuangan. Setelah data diterima, Ditjen Pajak kemudian mempelajari profil masing-masing wajib pajak.

Sengketa Bertahun
Soal sengketa musik, Adib Hidayat selaku pengamat musik, kurator festival menjelaskan, di luar negeri rata-rata sengketa terkait hak cipta diselesaikan di pengadilan. Pengadilan akan menghadirkan saksi ahli dan kasus diuji oleh ahli peneliti lagu. Jika ada kemiripan, kredit pencipta pada lagu akan diubah.

Secara hukum, menurut Adib, penyanyi yang hendak meng-cover harus mendapat izin dari pencipta lagu. Lebih-lebih jika jumlah penonton hasil cover lebih banyak ketimbang video penyanyi asli. Maka itu, pencipta lagu sebaiknya mencatatkan karyanya sebagai hak cipta.

“Hal itu supaya karyanya diproteksi. Jadi ketika nanti ada yang cover, hak ekonominya tetap balik ke penciptanya, tapi secara hukum memang harus minta izin dulu, apalagi dipublikasi di wilayah umum,” tutur Adib yang juga berprofesi sebagai Editor In Chief Billboard Indonesia kepada Validnews, Kamis (11/6).

Di Indonesia, lanjut Adib, kasus hak cipta lebih sering diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Jarang yang membawa kasus ini ke pengadilan. Pada era serba digital, ada beberapa kasus ramai diributkan di sosial media. Namun, masalah selesai setelah kedua pihak bertemu.

Hal itu juga yang memengaruhi kesejahteraan para musisi dalam negeri. Terlebih, tata kelola organisasi yang mengumpulkan royalti di Indonesia belum rapi. Idealnya, organisasi kolektif mengumpulkan royalti dari hak pertunjukan (performing rights) dari penyelenggara acara. Royalti itu nantinya diberikan kepada musisi asli. Sayangnya, nilai pembayaran royalti kerap kali tidak sesuai tarif. 

“Kadang penyelenggara maunya membayar tapi tidak sesuai tarif. Kadang si kolektif society-nya terima saja karena daripada tidak dibayar. Bahkan, kita suka tidak tahu sampai ke musisi berapa. Patokan-patokan seperti itu yang perlu dirapikan,” jelas Adib.

Namun sebenarnya, lanjut Adib, pengumpulan royalti itu tengah diatur oleh Lembaga Manajemen Kolektif Negara (LMKN) yang dibuat oleh DJKI Kemenkumham. Dengan tata kelola yang baik, keuntungan yang didapat musisi seharusnya akan lebih banyak. 

Menteri Hukum dan HAM Yasona selaku elemen negara, sempat mengatakan bahwa hampir semua negara sudah memiliki mekanisme pembayaran royalti di bidang musik melalui media sosial dan aplikasi yang diatur dengan rinci. UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta saat ini belum dengan jelas mengatur royalti platform digital.

Saat ini, telah ada wacana pembuatan regulasi penarikan royalti melalui media sosial dan aplikasi, dan dari luar negeri.

Hal ini perlu dilakukan karena potensi royalti musik Indonesia di luar negeri saja mencapai Rp3 triliun. LMKN tidak bisa memungut dana itu. Lagi-lagi ini disebabkan database musik di Indonesia belum lengkap alias belum rapi. (Yanurisa Ananta, James Manullang)

  • Share:

Baca Juga

Kultura

Honor Luncurkan Ponsel Perdana

  • 23 Januari 2021 , 17:27
Nasional

Sandiaga Uno Minta Arahan KPK Soal Pengelolaan Anggaran

  • 21 Januari 2021 , 14:56
Kultura

Menilik Tren Dekorasi dan Makeup Pernikahan 2021

  • 21 Januari 2021 , 17:42

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Tak Kandas Berteman Kanvas


  • Terbaru

Gabungan Bank Syariah Himbara Kantongi Izin OJK
27 Januari 2021 , 21:00

Jika seluruh proses akhir berjalan sesuai rencana, merger tiga bank syariah milik Himbara akan efektif pada Senin, 1 Februari 2021

Uji Klinis Tahap 1 Vaksin Merah-Putih Medio 2021
27 Januari 2021 , 20:58

Indonesia tidak boleh bergantung 100% pada vaksin impor

Netflix Akan Luncurkan Film Tentang Formula 1
27 Januari 2021 , 20:47

Dibintangi Robert De Niro dan John Boyega

Awas Aksi Tipu-tipu Bermodus Seksualitas
26 Januari 2021 , 21:00

Minimnya edukasi penggunaan internet yang aman menjadi masalah fundamental

Menyiasati Kesempatan Kala Pembatasan
25 Januari 2021 , 21:00

Kursus daring kian diminati. Biaya dan penyajian jadi perhatian

Menjaga Asa Tanpa Laga
23 Januari 2021 , 18:00

Pandemi membuat suporter tidak lagi bisa memenuhi tribun stadion. Hanya kecintaan terhadap tim kesayanganlah yang membuat mereka tetap bertahan, meski tanpa kepastian

PELUANG USAHA

Modal Minim Bisnis Reparasi Kereta Angin
22 Januari 2021 , 20:22

Peluang laba dari pengelolaan bengkel sepeda masih terbuka lebar meski tren kemudian turun

Buah Senarai Samar Kompetisi
21 Januari 2021 , 21:00

Kelanjutan kompetisi masih tanda tanya. Beban klub tak tersolusikan

Kandas Laba Dari Olahraga
19 Januari 2021 , 21:00

Tak semua cabor bisa diadakan online. Faktor sponsor tetap menentukan

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

  • Fokus
  • Paradigma

Ragam Petaka Dan Citra Aviasi Indonesia
26 Januari 2021 , 13:00

Di Indonesia, tercatat ada 104 kecelakaan pesawat sipil dengan lebih dari 2.000 korban jiwa sejak 1945 .

Gaya Hidup Sehat Dan Bisnis Apparel Yang Melesat
21 Januari 2021 , 18:38

Pada masa pandemi, tampilan kasual yang dipengaruhi gaya sporty, akan tetap penting bagi pelanggan, khususnya Gen Z.

Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Mobil listrik mulai dilirik. Namun baru sebagian kelompok yang mampu menjamahnya. Selain faktor harga, ketersediaan fasilitas pendukung teknologi ini juga jadi pertimbangan calon konsumennya.

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.