- Nasional
MEMBIDIK CUAN DARI TREN BERULANG
Dilema ‘Polas-Poles’ Kebijakan Lama
01 Februari 2020 , 18:00

JAKARTA – Kebijakan kerap berubah seiring bergulirnya estafet kepemimpinan nasional. Selalu saja muncul argumentasi bahwa kebijakan harus diganti atau dikuatkan agar selaras dengan fokus dan prioritas pemerintah yang berkuasa. Hal ini umumnya bakal didorong terjadi meski, bila ditelisik, tak semuanya benar-benar menawarkan kebaruan.
Pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) jilid kedua, ini juga terjadi. Bermunculan upaya menerbitkan kebijakan yang sesungguhnya mengadaptasi kebijakan sebelumnya. Bahkan, termasuk omnibus law sekalipun adalah perulangan.
Di bidang pendidikan pun bergaung rencana memunculkan pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Belum lagi gagasan untuk menghadirkan GBHN lagi.
Tepatnya pada bulan Oktober 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang kala itu diemban oleh Muhadjir Effendy, mengungkap ke publik bahwa pihaknya tengah mengkaji agar PMP diajarkan kembali. Walau statusnya bukan lagi Mendikbud, namun Muhadjir sesungguhnya masih bisa berperan memastikan rencana ini, mengingat jabatannya sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK).
Disebutnya, materi pembelajaran utama yang harus ditekankan di PMP nanti ialah bagaimana pencegahan radikalisme di sekolah bisa tercapai. Upaya memasukkan Pancasila itu di kurikulum juga melenggang dengan lancar, sejalan dengan RUU Sistem Pendidikan Nasional yang masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2020–2024.
Peneliti Sutan Sorik memandang kalau keberadaan PMP pada masa kini masih menjadi hal yang relevan. Di tengah banyaknya paham radikalisme yang kian merajalela, PMP diharapkan bisa membentuk sebuah benteng pemahaman.
“Pemahaman bahwa kita punya ideologi sendiri, yaitu ideologi Pancasila yang sudah disepakati oleh pendiri bangsa kita,” ucap peneliti yang bernaung di Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI itu kepada Validnews, Kamis (30/1).
Sutan menuturkan, tidak menutup kemungkinan bila PMP kali ini bisa mengulang keberhasilan pada masa silam. Dari pengamatannya, PMP di ‘tangan dingin’ Soeharto mampu menanamkan bahwa Pancasila merupakan landasan ideologi dalam berbangsa dan bernegara. Keuntungannya, formula materi yang mendulang sukses itu tinggal dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan generasi masa kini.
Sayangnya, penerapan PMP saat itu tak sepenuhnya benar. Saking kuatnya ingin menumbuhkan doktrin itu, banyak sekali pergerakan yang dibungkam. Sutan mengenang, segala bentuk organisasi yang dasarnya di luar Pancasila, bahkan yang berasaskan agama pun tidak diperkenankan muncul. Diamininya pula, PMP dalam pimpinan Soeharto dipandangnya menyisakan luka dan cacat, lantaran adanya pembatasan hak-hak berdemokrasi, di mana seharusnya sudah dijamin sebagaimana termaktub di dalam UUD.
Pemerintah sekarang pun menyadari itu. Muhadjir berkali-kali meyakinkan khalayak luas kalau kembalinya PMP ke ranah pendidikan tidak akan terasa seperti saat Orde Baru.
Bagi Muhadjir, penggunaan nama PMP atau nama lain bukanlah suatu masalah. Satu yang pasti, pendidikan tersebut akan menekankan penanaman nilai Pancasila, pembentukan sikap, mengatur budi pekerti hingga perilaku yang sesuai dengan dasar negara itu.
“Pembuat regulasi itu seharusnya paham. Ambil positifnya, jangan hal-hal negatif yang dulu seperti kebebasan orang direnggut untuk mengemukakan pendapat, lalu berhimpun dengan asas selain Pancasila, yang sebenarnya tidak bertentangan, tetapi dilarang,” tutur Sutan.
Hanya Ubah Nama
Sementara terkait omnibus law, Sutan menyebut kalau secara konsep, kebijakan yang diambil ini tidak berbeda dengan deregulasi yang sempat digencarkan habis-habisan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat masih menjabat.
“Sudah pernah ada waktu masa Pak SBY, tapi kan istilahnya baru sekarang. Omnibus law itu kan hanya sebatas penyebutan saja yang beda, sebatas mungkin legacy pemimpin saat ini bahwa dia adalah orang yang pertama kali mengungkapkan itu,” tukas Sutan.
Soal kebaruannya sendiri, Sutan menyebut ada. Tapi, ia cenderung mengkritik. Salah satunya yang disorotnya adalah pasal seputar upah yang rencananya akan diubah menjadi per jam, setelah sebelumnya diatur berdasarkan upah minimum. Di sisi lain, dampak investasi bagi lingkungan juga tidak disinggung. Tak ayal, banyak pihak berpendapat kalau omnibus law ini cuma dibuat untuk menguntungkan investor.
Selain omnibus law, sebelumnya pada periode pertamanya untuk memacu ekonomi dan investasi, Jokowi juga memangkas kebijakan terkait ekonomi ke dalam 16 paket kebijakan. Hal serupa juga pernah diterapkan pada era Orde Baru. Dalam kurun 5 tahun, terhitung dari 1983–1989, Presiden Soeharto mengeluarkan 9 paket deregulasi terkait pajak, keuangan, pasar modal, sampai bea cukai.
Lantas, apa keberhasilan pangkas kebijakan ala Soeharto? Jangan ditanya. Gebrakan itu disebut-sebut paling moncer menjaga stabilitas ekonomi, harga pangan, sampai soal energi pada saat itu. Meski ada penopang stabilitas itu sendiri, yakni ‘keseragaman’ yang dikelola Soeharto.
Apapun bentuknya, Sutan menekankan bila kebijakan yang diluncurkan semestinya mengikuti perkembangan zaman dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sekarang ini, pembuatan UU atau kebijakan yang ada ia rasa masih kurang diriset dengan baik. Disebutnya, masyarakat bukan menjadi acuan dalam membuat aturan.
Berkaca dari sejarah, pola-pola kebijakan selalu mengacu pada kondisi yang ada. Saat Orde Lama, Soekarno lebih mengutamakan siasat bagaimana cara membangun Indonesia mandiri di atas kaki sendiri. Dalam tahapan yang masih mulai merangkak untuk membangun negara, ekonomi memang penting, namun kecintaan terhadap negeri masih menjadi fokus untuk dipupuk.
Sementara pada masa Orde Baru, kebijakan atau aturan yang dilakukan lebih pada pengembangan ekonomi. Mulai muncul lah istilah GBHN hingga Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), sebagai acuan untuk pengembangan ‘serba pembangunan’.
Salah satu deal paling besar di era Reformasi, sebut Sutan, adalah saat GBHN dihilangkan. Singkat cerita, dihapusnya GBHN merupakan imbas dari pemilihan presiden secara langsung, di mana program yang diusung menjadi hal yang ditawarkan.
Semuanya berawal dari amandemen UUD 1945, di mana kewenangan MPR untuk menggarap GBHN ditiadakan. Sebagai gantinya, haluan negara yang ‘baru’ dituangkan dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) 20 tahunan. Dari situ, rencana tersebut dijabarkan dalam RPJM dalam kurun 5 tahun.
Bayang Keprihatinan
Seiring waktu berjalan, kebutuhan untuk membuat pedoman perencanaan pembangunan nasional sebagaimana yang bisa dipenuhi dari GBHN belakangan menjadi bahan pembicaraan elite politik.
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI, Siti Zuhro, menilai keinginan untuk menghidupkan GBHN menunjukkan bila ada semacam rasa prihatin karena nihilnya peta jalan atau roadmap yang jelas, yang bisa menjadi acuan utama.
“Kita membangun kok rasanya tidak jelas roadmap-nya. Apakah karena ketiadaan GBHN seperti dulu? Apalagi 5 tahun sekali pilpres-pilkadanya langsung, tiap pasangan calon itu punya visi-misinya sendiri. Lalu bagaimana visi kepentingan Indonesia? Ada concern ke sana,” ucapnya kepada Validnews, Kamis (30/1).
Secara tak langsung, lanjut Siti, negara merindukan sebuah pokok-pokok haluan seperti yang dibesut pada era sebelum Reformasi. Dikatakan, entah disebut GBHN atau dikemas dengan nama lain, perlu ada acuan yang secara eksplisit menargetkan Indonesia ini mau dibuat seperti apa, dalam 100 tahun ke depan misalnya.
Jika tidak, bisa dipastikan bila roadmap akan terus berubah setiap tongkat estafet kepemimpinan berpindah.
Menurut Siti, keberadaan haluan itu tak serta-merta menghadirkan kembali nuansa Orde Baru. Prinsip sederhananya, rumuskan saja bagaimana potret Indonesia yang ingin dibangun ke depannya.
Kebijakan baru itu dipandang Siti tak mesti harus benar-benar baru. Tidak masalah kalau mengambil dari kebijakan lama dari era pemerintahan siapapun. Hanya saja, perlu ada inovasi lantaran situasi sudah berbeda dibanding zaman dulu. Dari sana, bisa dijabarkan dan diturunkan sebuah kebijakan yang bisa dieksekusi.
Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor, pada kesempatan berbeda, memandang bahwa pola kebijakan yang dibuat belakangan ini dilakukan atas dasar kepentingan yang tidak visioner. Dalam wawancaranya kepada Validnews, Kamis (31/1), ia mengatakan, bila semua itu menurutnya hanya sekadar gimmick dan sensasi, daripada mengurusi hal-hal yang substansial.
Bahayanya, kata Firman, jika kebijakan ini ke depannya terus-terusan dibuat oleh segelintir orang. Imbasnya, tidak semua kebijakan itu betul-betul berasal dari aspirasi masyarakat, dan kembali untuk masyarakat.
“Lingkaran kebijakan hanya sebatas di mereka, pemilik modal, penguasa politisi, dan birokrasi. Masyarakat hanya melihat dari jauh,” cetusnya. (Shanies Tri Pinasthi)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN