- Ekonomi
MEMBACA POLAH DAN WAJAH DUNIA BELANJA
Dari Sarinah, Belanja Mulai Terasa Wah
06 Desember 2018 , 21:11

JAKARTA – Pergi ke pusat perbelanjaan, buat sebagian orang bukan sekadar menyambangi toko atau gerai dan membeli barang yang diincar. Lebih dari itu, saat ini mengunjungi pusat perbelanjaan sudah menjadi alternatif hiburan tersendiri.
Maklum saja, deretan gerai kopi, makanan, hingga outlet busana dan keperluan hidup lainnya yang berjejer rapi, biasanya penuh dengan dekorasi, ornamen dan desain interior yang apik, kerap berhasil memikat mata. Alhasil, tak jarang orang pergi ke pusat perbelanjaan, hanya untuk melihat-lihat saja alias window shopping atau hangout dengan rekan dan kolega.
Pendeknya, mengunjungi mal atau pusat perbelanjaan sekarang, bebas dari kesan hiruk pikuk bongkar muat barang, paparan sinar matahari, bau asap, hujan atau tanah becek seperti yang tergambar dari pasar tradisional. Di sejumlah mal, bahkan sejumlah hiburan mulai dari live music sampai bioskop disediakan.
Namun, sebenarnya, mulai kapan pusat belanja modern seperti itu muncul di Indonesia? Jika merunut jauh ke belakang, jawaban atas pertanyaan tersebut tak bisa dilepaskan dari cerita Sarinah, pusat perbelanjaan modern dengan konsep mal yang pertama di Indonesia
Seperti diketahui, pembangunan Gedung Sarinah yang berlokasi di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat digagas oleh Sukarno. Keinginan Presiden Pertama Indonesia itu muncul seusai dirinya melawat ke beberapa negara tetangga yang memiliki pusat pertokoan atau pusat perbelanjaan yang tertata rapi.
“Selama bepergian itu, dia (Sukarno) melihat di negara barat itu ada pusat-pusat pertokoan atau perbelanjaan yang modern untuk ukuran zamannya. Nah dia ingin itu juga ada di Indonesia, di Jakarta,” kata Bondan Kanumoyoso, Sejarawan Universitas Indonesia, saat dihubungi Validnews, Senin (3/12).
Bondan menambahkan, Sukarno yang saat itu mengedepankan politik mercusuar, memiliki harapan agar Indonesia bisa dilihat sebagai bangsa yang maju secara ekonomi di mata masyarakat dan dunia. Nah, pembangunan gedung pusat perbelanjaan modern menjadi salah satu jalan yang diambilnya.
Sejarawan UI lainnya, Andi Achdian, kepada Validnews menuturkan, Sukarno merancang Gedung Sarinah sebagai jantung untuk pengusaha lokal. Ia berharap, produk-produk produksi dalam negeri dapat dijual dengan ditata apik dalam setiap sudut etalase gedung, berkelas.
“Dia (Sukarno) juga mau membangun kekuasaan ekonomi UMKM lah kalau bahasa sekarang. Punya mimpi seperti itu, untuk menjadikan satu tempat di mana semua produk Indonesia bisa hadir disitu,” ucap Andi.
Keinginan Sukarno dalam mengangkat pamor produk buatan dalam negeri pun sebenarnya juga sudah tercantum di nama gedung itu sendiri. Menilik dari sejarahnya, Sarinah diambil dari nama pengasuh Bung Karno yang berperan besar dalam menanamkan kecintaan Sukarno terhadap orang kecil.
“Dialah yang mengajarku untuk mengenal cinta kasih. Sarinah mengajarku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata,” kata Bung Karno seperti dikutip dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.
Karena itulah, konsep pendirian toko serba ada Gedung Sarinah juga dilandasi keberpihakan Sukarno kepada rakyat Indonesia, terutama rakyat miskin, agar bisa berdiri di kaki sendiri secara ekonomi.
Syukurnya, niatan Sukarno itu bisa dibilang mendapatkan dukungan yang lebih dari cukup, khususnya terkait soal pembiayaan pembangunan. Sebagai negara jajahan Jepang, Indonesia mendapat sedikit suntikan dana dari Perjanjian San Fransisco.
Singkat cerita, akibat kalah oleh sekutu saat Perang Dunia II, Jepang terikat oleh Perjanjian San Fransisco yang ditandatangani oleh 49 negara, termasuk Indonesia pada 8 September 1951. Salah satu isi perjanjian itu adalah Jepang harus memberikan kompensasi kepada negara-negara yang pernah dijajahnya.
Setelah menempuh jalur diplomasi yang memakan banyak waktu, akhirnya pada November 1957 Perdana Menteri Jepang Nobosuke Kishi dan Presiden Sukarno sepakat atas dana kompensasi Jepang untuk Indonesia. Besaran kompensasi yang diterima oleh Indonesia kala itu sebesar US$223,08 juta dengan bantuan lain sebanyak 80 juta yen, yang dibayar dengan mencicil.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Andi, uang ‘kompensasi’ perang itulah yang menjadi sumber dana pembangunan Gedung Sarinah. Dengan menggandeng Abel Sorensen yang merupakan arsitek asal Denmark, pembangunan gedung itu pun dimulai.
Adalah Presiden Sukarno sendiri yang meletakan batu pertama Gedung Sarinah pada 17 Agustus 1962, di mana groundbreaking itu menjadi titik awal pembangunan pusat promosi dan perdagangan barang-barang produksi dalam negeri. Khususnya hasil pertanian dan industri raknyat.
Asal tahu saja, dasar pemilihan lokasi Gedung Sarinah juga bukan asal-asalan. Setidaknya, Jalan MH Thamrin yang menjadi penghubung pusat kota ke kawasan Kebayoran Baru itu merupakan lingkungan strategis. Hampir semua instansi pemerintah terkonsentrasi di sekitaran wilayah tersebut. Pendeknya, memang direncanakan untuk dibuat menjadi daerah elite, juga dekat dengan perumahan elite Menteng.
Kemegahan Sarinah
Gedung Sarinah pun akhirnya rampung dibangun pada bulan Agustus, dan resmi dibuka tanggal 15 Agustus 1966. Berkat sentuhan tangan Abel Sorensen, Gedung Sarinah berdiri kokoh setinggi 74 meter dengan total 15 lantai. Sarinah pun menjadi pusat perbelanjaan pencakar langit pertama di Indonesia.
Saat itu, Gedung Sarinah menjadi bangunan termegah, lengkap dengan pendingin ruangan, eskalator, bahkan kasir modern. Persis sama seperti pusat belanjaan yang ada dalam ingatan Sukarno kala kunjungannya ke luar negeri.
Diakui Bondan, keberadaan Sarinah menjadi parameter kemajuan yang luar biasa. Pasalnya, belum ada bangunan di Indonesia yang memiliki fasilitas seperti itu.
“Itu suatu hal yang sangat luar biasa waktu itu ya, sampai tahun 70-an akhir saya punya memori, itu pemandangan yang luar biasa menurut saya itu. Penanda zaman itu, merepresentasikan kemajuan,” kenangnya.
Dari penuturan Bondan, Gedung Sarinah menjadi magnet tersendiri bagi warga Jakarta dan sekitarnya untuk merasakan pengalaman berbelanja yang berbeda dari biasanya.
“Suatu pengalaman baru ya, yang membuat mereka merasa dirinya bagian dari dunia modern. Jadi mereka kalau pergi ke Sarinah itu, seperti masuk ke dalam peradaban yang maju lah,” terang Bondan.
Di Gedung Sarinah itu, produk dalam negeri pun merajai dominasi barang yang dijual, cocok dengan harapan awal Sukarno. Dikatakan Andi, Sarinah berhasil menjadi wadah bagi peningkatan usaha UMKM lokal.
“Jadi semacam showcase-nya ya. Mereka (pengusaha UMKM) jadi bisa menunjukkan produknya secara nasional dan internasional,” jelasnya.
Dikatakan Bondan, euforia masyarakat terhadap keberadaan Sarinah saat itu berlanjut hingga ke tahun 80-an. Hal serupa juga diungkapkan oleh Andi, di mana pada rentang waktu 1980 hingga penghujung tahun 1990-an, masyarakat masih memilih Sarinah sebagai pusat belanja favorit.
“Sarinah bukan hanya belanja, tapi juga jadi tolak ukur. Kalo beli barang yang bagus, ya carinya ke Sarinah. Prestige lah ya saat itu,” singkat Andi.
Mulai Tua
Namun, seiring zaman, kesan tua Gedung Sarinah akhirnya tersemat tatkala gedung-gedung pencakar langit terus bermunculan dengan konsep yang lebih modern di Jakarta. Sarinah pun berjuang untuk tidak terkikis waktu. Jika diibaratkan, Sarinah berusaha tampil sebagai wanita modern berpengalaman yang bergerak dinamis menantang zaman.
Serbuan inovasi dan perluasan jaringan pun digencarkan oleh Sarinah demi mempertahannya pamornya sebagai The Indonesian Emporium.
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, bisnis ritel yang sangat bergantung dengan kepuasan pelanggan memang semestinya harus peka dan terus berinovasi.
“Nah, beragam inovasi yang membuat konsumen jadi lebih nyaman, lebih percaya, dilakukan oleh para ritel tersebut. Bagaimana caranya supaya dia bisa mengambil hati konsumen,” kata Heri saat diwawancarai Validnews, Senin (3/12).
Langkah pemulihan dan inovasi dari BUMN yang namanya resmi menjadi PT Sarinah pada 1972 itu, diawali dengan membuka jaringan bisnisnya di Kraton Jogja pada tahun 2004, dan meluncurkan enam gerai di Pejaten Village, Jakarta Selatan pada 2010.
Tidak hanya itu, pada tahun yang sama Sarinah juga melakukan ekspansi bisnis lewat “Kedai Kopi Sarinah” dengan merek A Cup of Java. Pada tahun 2012, outlet utama di Thamrin pun tak lupa diberi sentuhan inovasi sebagai lokasi peluncuran Mea, merek fesyen yang mampu mempertemukan sisi kontemporer tata busana barat masa kini dengan unsur etnik nusantara.
Tahun 2014, Sarinah juga memperkuat jaringan ritelnya di berbagai kota di Pulau Jawa, tetap dengan ciri khasnya mendukung bisnis UMKM. Hingga pada tahun 2015, ‘kloningan’ dari Sarinah akhirnya tersebar di banyak titik.
Waktu itu, di Kepanjen, Malang, bulan Januari 2015 sudah ada speciality store besutan Sarinah dengan nama Shareena Hijab. Outlet ini pun meluas hingga ke Ungaran, Jawa Tengah (Juni 2015), dan juga ke Yogyakarta dan Semarang pada Desember 2015.
Tercatat, setidaknya ada sebanyak 11 outlet yang kini hadir di bawah naungan PT Sarinah. Selain itu, perseroan juga merambah bisnis properti, ditandai dengan proyek pembangunan Sarinah Braga Hotel di Bandung, Jawa Barat pada tahun 2016.
Masih dengan tujuan yang sama, di samping untuk mengoptimalkan aset Sarinah, keberadaan hotel ini juga dimaksudkan untuk mendongkrak produk-produk UKM di lokasi yang strategis.
Tergerus Zaman
Dari sudut pandang bisnis ritel perseroan, patut diakui jika PT Sarinah memang berupaya keras untuk tetap diingat. Namun, popularitas Gedung Sarinah di Thamrin sudah telanjur tergeser oleh munculnya pusat perbelanjaan lain di ibu kota yang pastinya hadir dengan kemasan yang lebih segar.
Sebut saja Duta Merlin yang hadir pada tahun 1970, disusul Pasaraya Manggarai (1980), Ratu Plaza (1981), Gajahmada Plaza (1982), Melawai Plaza (1984), dan Metro Pasar Baru pada 1985.
Setelah itu, ada pula Harco dan Kings Plaza yang dibangun pada tahun 1986, diikuti oleh Plaza Barito (1988) dan Pasaraya Blok M dan Golden Truly pada tahun 1989. Jika dikalkulasi, setidaknya ada sebanyak 1,2 juta meter persegi lahan di Jakarta berubah menjadi pusat belanja hingga tahun 1990. Luasannya pada tahun 2005 bahkan meningkat hingga lebih dari tiga kali lipat, yakni sebesar 4,4 juta meter persegi.
Waktu yang terus berjalan juga makin membuat Sarinah–Thamrin terlihat sebagai pusat perbelanjaan yang tertinggal zaman. Pasalnya, setelah era 1980–1990-an, mulai marak dibangun pusat belanja yang membidik pasar kelas atas lewat konsep kolaborasi tempat makan dan hiburan, yakni fX Sudirman, Senayan City, Grand Indonesia, ataupun Pacific Place.
“Semakin banyak pilihan lah. Ketika 80-an itu kelas menengah nya baru muncul. Istilah Orang Kaya Baru-nya baru muncul, dan mereka suka (banyak pilihan),” terang Andi.
Selain dari persaingan pasar yang makin ketat, Andi menilai jika saat itu, Sarinah yang berpredikat perusahaan pelat merah, kurang mendapatkan dorongan untuk kembali menjadi ikon citra nasional.
“Tidak ada kebijakan yang memang secara serius untuk selain Sarinah sekadar bertahan saja. Tidak berkembang menjadi satu BUMN yang terkonsolidasikan modalnya untuk memperbaharui atau memperluas jaringannya,” ungkap Andi.
Senada dengan Andi, Bondan juga memandang jika Sarinah sejak tersisih dari persaingan pusat perbelanjaan, sudah tidak dianggap lagi sebagai pusat perbelanjaan high end seperti pada masa kejayaannya.
“Wah, ya sudah ketinggalan zaman. Pemerintah enggak merenovasi, kalah sama yang swasta kan. Sarinah masih konsep lama toserba, udah gitu display-nya kuno pula. Ya susah diharapkan. Ada orang datang ke sana tapi enggak ramai lagi seperti dulu,” papar Bondan.
Bahkan, dari penuturan Bondan, Sarinah-Thamrin tampak masih ramai hanya karena karyawan kerah putih yang menyempatkan dirinya untuk makan ataupun bercengkrama di waktu senggang di sejumlah restaurant atau cafe yang ada di sana.
“Kebanyakan yang parkir itu kebanyakan orang mau makan, sama orang mau kantoran. Di bagian foodcourt sama kantor saja, toserbanya kalau diperhatikan kan sepi,” singkat Bondan.
Terus Berbenah
Meskipun memang kalah saing dengan pusat perbelanjaan lain, Heri memandang jika Sarinah-Thamrin punya kesempatan untuk tetap menggaet pengunjung melalui berbagai program yang diselenggarakan di sana.
“Misalnya event-event tertentu, misalnya ada promo, diskon. Artinya, segmen pasarnya dia masih punya,” kata Heri.
Dikatakan Roy Mandey, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Sarinah-Thamrin pun sebenarnya aktif berbenah mengikuti perubahan zaman.
“Sarinah sendiri memang kelihatannya enggak ada yang berubah. Tapi kalau lihat ke dalam itu mereka rajin mengubah,” ungkap Roy dalam wawancaranya kepada Validnews, Kamis (6/12).
Roy menilai, Sarinah punya signature produk tersendiri, mulai dari sandang, pangan, kuliner, serta kerajinan. Inilah yang masih menjadi titik unggul bagi Sarinah sehingga orang mau untuk datang ke situ.
“Yang kedua juga Sarinah senantiasa meng-upgrade SDM sebagai penentu keberhasilan, sangat lekat dengan kultur budaya perusahaan mereka,” singkat Roy.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, potensi pasar bagi Sarinah-Thamrin pun masih terbuka lebar, mengingat kini Sarinah sudah mulai merambah pasar online, melalui penjualan via web di laman sarinahonline.co.id. https://www.sarinahonline.co.id/. Heri pun mengamini, jika pasar online ke depannya akan punya peranan yang semakin besar.
Selain Heri, optimisme yang sama juga muncul dari Andi. Menurut Andi, Sarinah masih punya prospek untuk kembali bangkit.
“Dengan regulasinya y,a asalkan. Memang dibutuhkan regulasinya. Saya kira Kementerian UMKM, Kementerian Perindustrian memang harus lebih giat. Dalam kondisi seperti ini memang seharusnya sudah lebih giat kita mempromosikan produk Indonesia,” tuturnya.
Tidak mudah memang bagi PT Sarinah sebagai suatu BUMN untuk bersaing dengan perusahaan swasta yang murni bergerak di bidang ritel. Inovasi pun tak bisa sembarang diterapkan, mengingat fleksibilitas Sarinah terikat oleh aturan-aturan dalam rangka mengemban misi pemerintah.
Di sisi lain, ungkapan “berubah atau mati,” menjadi konsekuensi tersendiri bagi keberlanjutan Sarinah. Dalam masa disrupsi ini, jika Sarinah keteteran dalam berinovasi, artinya harus siap untuk benar-benar tersingkir. Sarinah memang benar-benar harus berbenah. (Shanies T Pinasthi, Monica Balqis, Teodora Nirmala Fau, Bernadette Aderi)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN