- Ekonomi
CORE: Ekonomi Indonesia Kuartal III Bisa Terjun ke -3%
21 Juli 2020 , 21:00

JAKARTA – Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia berpendapat, jika angka kasus baru covid-19 terus meningkat sepanjang tahun dan pemerintah kembali memberlakukan PSBB, maka kontraksi ekonomi Indonesia bisa mencapai -3% pada kuartal III/2020.
“Ini sangat mungkin terjadi karena kalau kita lihat, jumlah kasus penularan covid-19 di Indonesia setiap hari meningkat bahkan setelah new normal diberlakukan,” kata Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal dalam diskusi virtual yang dihadiri Validnews, Selasa (21/7).
Namun bila puncak pandemi terjadi pada kuartal ketiga dan pemerintah tidak memberlakukan kembali PSBB, CORE memprediksi ekonomi Indonesia terkontraksi di kisaran -1,5%.
Faisal menyebutkan, bila kontraksi ekonomi terjadi hingga ke level -3%, maka ini merupakan resesi pertama yang terjadi di Indonesia sejak 1998, walaupun karakteristik dan faktornya berbeda.
“Ya ancaman resesi ekonomi nasional itu saya pikir memang sudah di depan mata. Kita melihat, walaupun sekarang kita belum masuk ke dalam resesi tapi kita rasakan kontraksi ekonomi akan terjadi pada kuartal II dan III. Walaupun sudah diberlakukan kebijakan new normal sejak Juni 2020,” papar Faisal.
Salah satu faktor yang menjadi sorotan CORE adalah konsumsi rumah tangga, karena aspek ini merupakan penyumbang terbesar PDB Indonesia.
Konsumsi rumah tangga, kata Faisal, khususnya pada kelompok kelas menengah bawah, mengalami tekanan paling besar akibat pandemi covid-19.
Sementara tekanan konsumsi swasta dinilai paling besar terjadi pada kuartal kedua tahun ini dan diperkirakan mulai reda pada kuartal ketiga.
Ia mengatakan, Indeks Penjualan Riil (IPR) sebagai indikator yang memotret pertumbuhan penjualan barang-barang konsumsi masyarakat mencatatkan angka -20,6% (yoy) pada Mei 2020.
Sementara pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor roda dua selama lima bulan pertama tahun ini, ikut terkontraksi ke angka -39,6% (yoy). Begitu pula dengan penjualan kendaraan bermotor roda empat yang mencatatkan angka -41,1% (yoy) pada Januari-Mei 2020.
Besarnya tekanan masyarakat berpendapatan menengah bawah di masa pandemi ini juga terlihat pada simpanan di bank dengan nilai kurang dari 100 juta yang hanya tumbuh 2,2% jauh di bawah pertumbuhan bulan-bulan sebelumnya yang rata-rata 5%.
“Di sini kita lihat krisis ekonomi yang sekarang adalah, terutama di-drive oleh kontraksi pada demand atau biasa disebut demand shock,” kata Faisal.
Ia melanjutkan, upaya pemerintah untuk mengurangi beban ekonomi kelompok masyarakat menengah bawah melalui program jaring pengaman sosial baru sedikit membantu mengurangi tekanan belanja swasta. Lantaran realisasi program seperti Bantuan Sosial dan Kartu Pra-Kerja dinilai masih relatif rendah.
“Namun jika pemerintah mampu mempercepat implementasi program-program tersebut atau bahkan memperbesar anggarannya, konsumsi swasta pada semester kedua dapat membaik,” imbuh Faisal.
Selain itu, menurutnya kecepatan dan perbaikan upaya penanggulangan wabah selama pemberlakuan kelaziman baru menjadi faktor utama yang membantu pemulihan konsumsi swasta.
Ia menilai, masyarakat akan secara sukarela membatasi aktivitasnya lagi, bila pelonggaran PSBB di beberapa kota serta pembukaan beberapa aktivitas ekonomi masih menimbulkan tren peningkatan kasus covid-19.
Bila hal itu terjadi, perputaran ekonomi Indonesia bisa semakin melemah. Apalagi jumlah tes Covid-19 di Indonesia masih sangat terbatas dibandingkan negara-negara lain.
Tak hanya terjadi di Indonesia, Faisal juga memaparkan bahwa pelemahan ekonomi dan resesi sudah diprediksi oleh sejumlah lembaga ekonomi dunia.
Dampak covid-19 di berbagai belahan dunia menyebabkan ekonomi global tahun ini mengalami kontraksi terdalam sejak Perang Dunia II.
Ancaman resesi ekonomi tidak hanya menimpa negara-negara maju, namun juga negara-negara berkembang.
Pada bulan Juni, IMF dan World Bank memproyeksikan ekonomi global akan tumbuh -4,9% dan -5,2%. Menurut Faisal, ketidakpastian mengenai rentang waktu dan intensitas pandemi ini berpotensi mengerek ekonomi global turun lebih dalam.
“Kendati demikian, kegiatan ekonomi di beberapa negara, khususnya Tiongkok dan sejumlah negara Eropa berangsur-angsur pulih, sejalan dengan pelonggaran restriksi kegiatan ekonomi dan penurunan jumlah kasus baru penderita covid-19,” jelasnya.
Purchasing Manager Index di negara-negara tersebut, kata Faisal telah mengalami rebound tipis pada akhir kuartal kedua.
Ia juga menyebutkan bahwa optimisme pemulihan ekonomi akan semakin besar dengan kemajuan beberapa produsen vaksin, seperti Sinovac dan University of Oxford/AstraZeneca, yang telah melakukan uji klinis tahap dua dan tiga.
Vaksin itu pun diprediksi bisa dirilis ke publik pada awal 2021, sehingga penularan pandemi ini diharapkan dapat ditekan dan proses pemulihan ekonomi tahun depan akan berlangsung lebih cepat.
“Pemulihan ekonomi global menurut kami baru akan terjadi setelah wabah itu tertangani secara luas, tidak separuh-separuh atau di satu negara,” pungkasnya. (Zsazya Senorita)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN