- Ekonomi
CIPS: IA-CEPA Mampu Urai Masalah Harga Daging Sapi
04 Februari 2021 , 13:40

JAKARTA – Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan, pemerintah dapat mengoptimalkan peranan Indonesia-Australia CEPA untuk mengatasi permasalahan tingginya harga daging sapi nasional.
IA-CEPA memberikan akses preferensial ke lebih dari 99% produk pertanian Australia yang diimpor Indonesia. "Sehingga usaha yang menggunakan pakan biji-bijian dan daging sapi sebagai bahan produksi, bisa mendapatkan keduanya dengan harga yang lebih rendah," jelasnya, Jakarta, Kamis (4/2).
Untuk pakan, tarif akan dihilangkan untuk 500.000 ton di tahun pertama perjanjian dagang diterapkan dan jumlah ini akan ditingkatkan secara progresif ke lebih dari 775.000 ton pada tahun kesepuluh.
Pembukaan impor biji-bijian untuk pakan ternak melalui IA-CEPA merefleksikan bahwa komoditas sapi potong juga memainkan peran penting dalam perdagangan bilateral.
Pada 2018, dengan tingkat konsumsi daging sekitar 1,98 kg per orang, Indonesia mengkonsumsi sekitar 514.000 ton daging sapi. Sementara, produksi nasional kurang dari 500 ribu ton. Menurut data Austrade, untuk mencukupi kekurangan ini Indonesia mengimpor sekitar 510.937 ekor sapi potong .
“Kemitraan IA-CEPA memberikan kemudahan berupa pembebasan tarif dari yang tadinya 5%, untuk 575.000 ternak di tahun pertama. Volume bebas tarif ini dinaikkan 4% setiap tahun sampai mencapai 700.000 pada tahun keenam. Untuk daging sapi beku, tarif diturunkan dari 5% menjadi 2,5% yang kemudian dihapuskan setelah tahun kelima," katanya.
Peningkatan volume dan penurunan tarif tentu bisa berkontribusi pada turunnya harga daging sapi di Indonesia.
Selain itu, menurutnya, kerja sama ini bisa terus dikembangkan untuk menggabungkan kekuatan kedua mitra, yaitu sektor pertanian Australia dan industri makanan olahan Indonesia, untuk merambah pasar negara lain.
IA-CEPA sendiri akan didukung berbagai program pelatihan dan kemitraan melalui kegiatan AgriFood Partnership. Tujuannya untuk memperkuat kerja sama rantai pasok pertanian-makanan, salah satunya produk olahan daging.
"Adanya perjanjian dagang yang mengurangi, bahkan mengeliminasi tarif impor daging merah dalam lima tahun merupakan modal awal yang baik untuk memastikan kesuksesan program poros kekuatan di sektor makanan olahan berbasis daging," ujarnya.
Jalankan Koordinasi
Menanggapi harga daging sapi Australia yang naik, Andree menyarankan Kemendag melakukan koordinasi lewat Kerjasama Ekonomi atau ECP, mendesain program untuk memperlancar jalur pasokan sapi potong dan daging sapi dari Australia ke Indonesia.
"Misalnya, mengadakan pertemuan berkala antara peternak Australia dengan importir Indonesia, mempelajari hambatan logistik antar negara, atau bahkan mengevaluasi cara meningkatkan efektivitas rantai distribusi daging sapi di Indonesia," ucapnya.
ECP adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan potensi kesuksesan pelaksanaan IA-CEPA. Dengan mendukung reformasi regulasi melalui bantuan teknis, fasilitasi hubungan antar industri, dan mengembangkan standar umum dan kerangka kerja antar kedua negara.
Tingginya harga daging sapi perlu juga diatasi dengan melihat persoalan hulu, seperti rantai distribusi yang panjang. Meskipun IA-CEPA bisa mengurangi harga impor daging sapi, panjangnya rantai distribusi bisa menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit yang memengaruhi harga jual.
Mulai dari impor sapi bakalan untuk digemuk dan dipotong, lalu dijual ke tengkulak yang membantu RPH, menjual ke grosir skala kecil, baru menjual daging sapi ke pedagang eceran.
"Proses panjang ini tentu menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit," katanya.
Di sisi lain, pandemi covid-19 memang menimbulkan disrupsi pada pertanian di seluruh dunia. Implementasi berbagai kebijakan pembatasan sosial memengaruhi kinerja sektor pertanian di hampir semua negara.
Penurunan kapasitas produksi dan pengolahan menyebabkan suplai berkurang.
"Kali ini, kenaikan harga daging sapi terjadi karena harga sapi Australia juga sudah menanjak sejak akhir 2020 ditambah dengan tingginya biaya distribusi akibat penurunan kapasitas logistik selama pandemi covid-19," ujarnya. (Khairul Kahfi)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN