- Kultura
Budaya Patriarki Jadi Faktor Perempuan Terjerumus Gerakan Terorisme
08 April 2021 , 09:09

JAKARTA – Aksi terorisme di Makassar serta aksi solo perempuan bercadar di Mabes Polri baru-baru ini memperlihatkan dalamnya keterlibatan perempuan dalam gerakan terorisme di Indonesia. Meski sebelum-sebelumnya, telah ada pula sejumlah perempuan dalam berbagai aksi terorisme di berbagai daerah dalam berbagai kurun waktu.
Hal itu menunjukkan bahwa jaringan teroris memandang perempuan sebagai kandidat yang potensial untuk menjalankan misi terorisme. Potensi itu, misalnya, terkonfirmasi lewat data BNPT tahun 2020 yang memuat persentase potensi perempuan dan laki-laki terpapar radikalisme, di mana angka perempuan sedikit lebih tinggi dari angka laki-laki. Perbandingannya yaitu 12,1% dengan 12,3%.
Asdep Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kemen PPPA, Valentina Gintings mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan akhirnya rentan terpapar radikalisme berbasis kekerasan. Salah-satunya yaitu karena faktor psikologis perempuan yang lebih mudah percaya dan bersimpati.
“Kita lihat dari sisi Indonesia ya. Kalau perempuan itu kerap bersimpati artinya perempuan itu gampang untuk mengatakan bahwa ‘kami ingin lho membantu, saya ingin lho men-support. Ini yang kemudian dimanfaatkan sebagai target yang kemudian direkrut oleh para pelaku-pelaku terorisme,” ungkap Valentina dalam webinar bertajuk ‘Perlindungan Perempuan dari Terorisme dan Ekstremisme”, Rabu (7/4).
Di sisi lain, Valentina menyorot budaya patriarki yang masih kuat di kalangan masyarakat hari ini. Menurutnya, budaya tersebut juga menjadi faktor penyebab perempuan rawan terpapar ekstremisme. Budaya itu ditambah lagi dengan ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki sehingga perempuan cenderung menurut kepada suami, termasuk mengikuti untuk melakukan aksi terorisme.
“Perempuan harus nurut, ikut apa yang disampaikan oleh suami. Kemudian ketergantungan perempuan kepada suami dari sisi ekonomi. Karena ketergantungan, jadi apapun yang dikatakan oleh suami, karena dia tidak punya pegangan dalam sisi ekonomi, apapun yang dikatakan suami ikut saja,” tuturnya.
Faktor lain yang juga berkontribusi membentuk kerawanan itu, yaitu keterbatasan informasi, pengaruh keluarga, serta kecenderungan perempuan memiliki perasaan lebih sensitif jika dibandingkan umumnya kaum laki-laki.
Valentina mengatakan, Kementerian PPPA sendiri berupaya menyusun program-program untuk pencegahan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme. Menurutnya, pencegahan dari sisi perempuan sangat mendesak dilakukan, mengingat perempuan adalah ibu di rumah tangga yang intens berbagi apapun dengan anak-anaknya.
Dari sisi lain, Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen. Pol. Akhmad Nurwakhid mengatakan bahwa dalam pemikiran kaum radikal, perempuan dianggap kandidat perjuangan yang sangat penting sehingga sangat dimanfaatkan.
Ia mengatakan, sisi emosional perempuan yang peka dan simpatik, merupakan basis dari terbentuknya sikap militan serta patuh yang luar biasa kepada ustaz, suami atau orang yang diangapnya sebagai pemimpinnya. Sehingga sikap itu adalah aset yang luar biasa bagi jaringa teroris.
“Kemudian mudah, maaf dengan segala hormat, kecenderungan perasa, gampang takhlid tadi, sehingga mudah dibohongi terutama dengan dalil-dalil ayat suci dan sebagainya,” kata Akhmad.
Menurutnya lagi, citra perempuan yang lembut, penuh kasih sayang juga bisa menjadi selubung yang tepat bagi aksi radikal. Hal inilah yang membuat jaringan teroris banyak merekrut perempuan sebagai kandidatnya.
Satu hal yang tak kalah penting yang dimiliki kaum perempuan yaitu kapasitas mereka untuk melahirkan, mengasuh atau membesarkan generasi masa depan. Ketika seorang ibu teroris melahirkan anak, otomatis sang anak pun menjadi pelanjut gerakan ekstremisme tersebut. (Andesta Herli)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN