• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Nasional

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Belajar Bijak Jadi Dermawan

Disadari atau tidak, kedermawanan kita kepada para pengemis hanya membuat kemiskinan menjadi siklus tak berujung.
12 Desember 2019 , 23:00
Seorang ibu menggendong anak mengemis di Kawasan Terowongan Pasar Gembrong, Jakarta, 14 September 2014. ANTARA FOTO/Reno Esnir
Seorang ibu menggendong anak mengemis di Kawasan Terowongan Pasar Gembrong, Jakarta, 14 September 2014. ANTARA FOTO/Reno Esnir

Oleh Mohammad Widyar Rahman*

Mukhlis, begitulah namanya, seorang laki-laki tua yang berasal dari Sumatra Barat ini ditangkap Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta ketika sedang mengemis dan kedapatan membawa uang sejumlah Rp194,5 juta. Uniknya, fenomena ini bukan terjadi sekali ini saja. Bahkan, Mukhlis sendiri telah dua kali ditangkap dinas sosial.

Sebelumnya, pernah juga terjadi pada awal 2019, seorang laki-laki tua asal Pati, Jawa Tengah, bernama Legiman, berhasil meraup keuntungan hingga miliaran rupiah dari usaha mengemisnya. Pendapatan dari hasil mengemisnya mencapai Rp1 juta per hari. Kejadian ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di berbagai daerah lain. Di Bogor, seorang pengemis pernah kedapatan membawa mobil minibusnya. Pendapatannya bahkan mencapai Rp200 ribu per hari.

Di balik pakaian lusuh dan wajah memelas yang tak jarang didukung dengan bungkus kecacatan dan produk pengundang simpati lainnya, mereka memenuhi tempat-tempat publik seperti lampu merah, jembatan penyeberangan, pasar, mal, hingga pemakaman. Kita tidak dapat membedakan mana yang benar-benar bermasalah secara ekonomi dan mana yang tidak. Fenomena sosial ini mungkin tidak asing lagi, namun kondisi tersebut telah mencapai taraf sangat mengganggu dan semakin meresahkan masyarakat.

Ketika Mengemis Menjadi Pilihan Hidup
Berbicara tentang permasalahan sosial, hal ini identik dengan tingkat kemiskinan sebagai tolok ukurnya. Data BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 25,14 juta orang atau sekitar 9,41% dan menurun 0,80 juta orang atau sekitar 0,41% dibandingkan periode yang sama pada Maret 2018.

Namun demikian, dalam kaitannya dengan kasus pengemis “kaya”, kemiskinan menjadi bias karena, apabila dilihat dari pendapatannya, jelas jauh di atas rata-rata pekerja pada umumnya. Ketika telah menjadi pilihan hidup, permasalahan utamanya terletak di cara berpikirnya. Cara berpikir yang salah mengarahkan mereka untuk mencari pembenaran atas “pekerjaan” tersebut. Semakin terbiasanya mereka melakukan “profesi” tersebut, maka rasa “malu” pun akhirnya hilang.

Dilihat dari sisi religiositasnya, hasil penelitian Nuraeni (2015) menunjukkan bahwa para pengemis tidak benar-benar menghayati nilai keagamaan yang mereka anut. Ritual yang dilakukan, seperti salat dan puasa, tidak mengubah pola pikir dan cara hidup mereka yang tetap memilih menjadi pengemis. Sesudah berkecukupan pun, mereka tetap saja mengemis. Bahkan, aktivitas itu ditularkan kepada keturunannya hingga generasi berikutnya.

Di berbagai daerah, banyak kasus yang menunjukkan bahwa perilaku mengemis ini dilakukan secara turun temurun. Praktik yang sudah berlangsung lama pada akhirnya menjadi kebiasaan dan sulit dihilangkan.  Program rehabilitasi yang dilakukan pemerintah daerah pun seakan tidak memberikan dampak signifikan terhadap penurunan jumlah pengemis. Sepertinya, pemerintah daerah perlu membuat program yang dapat memutus generasi mengemis di lingkungan keluarga pengemis tersebut.

Pertentangan Nilai
Fenomena pengemis ini pada umumnya muncul di kota-kota besar sebagai dampak urbanisasi. Sisi lain kompleksitas permasalahan sosial perkotaan justru menjadi peluang bagi sebagian orang untuk menjadi pengemis. Di balik permasalahan sosial ini, apabila dilihat dari nilai pendapatannya, ternyata tidak semua pengemis termasuk kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).   

Menurut data BPS, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh rasio gini per Maret 2019 mencapai 0,382. Angka ini menurun 0,007 poin jika dibandingkan dengan rasio gini pada periode yang sama tahun 2018, yakni sebesar 0,389. Rasio gini yang mendekati angka 1 mengindikasikan ketimpangan ekonomi yang sangat besar di masyarakat. Apabila dilihat secara geografis, rasio gini di daerah perkotaan pada Maret 2019 tercatat sebesar 0,392 dan turun dibanding rasio gini periode yang sama bulan Maret 2018 yang sebesar 0,401. Ketika dibandingkan dengan pedesaan, pada Maret 2019, rasio gini tercatat sebesar 0,317 dan menurun dibandingkan periode yang sama pada Maret 2018 yang mencapai 0,324.

Di balik faktor ekonomi yang selalu menjadi alasan, menurut Christiawan, et. al. (2017), terdapat beberapa faktor lain yang memengaruhi kemunculan pengemis. Pertama, mengemis seakan sudah menjadi kegiatan ekonomi yang menggiurkan. Kedua, mengemis karena miskin mental; pengemis seperti ini tergolong individu yang sangat malas bekerja. Ketiga, mengemis yang terkoordinasi dalam suatu sindikat (organisasi).

Faktanya, “profesi” ini memang merupakan cara instan yang bisa dilakukan untuk meraup keuntungan fantastis. Timbulnya permasalahan sosial pengemis ini tentunya menjadi gap yang berpotensi merusak struktur ekonomi dan moral kehidupan berbangsa serta nama baik agama. Rasa iba memunculkan dorongan untuk menolong, ditambah lagi dengan nilai-nilai agama yang memberikan lampu hijau bagi seseorang untuk menyisihkan sejumlah uangnya kepada pengemis. Pemberian tersebut tak memikirkan fungsi uang itu untuk pengemis nantinya.

Pola-pola berpikir atas dasar perasaan negatif ini tentunya pernah dirasakan ketika menghadapi para pengemis. Melihat cara pandang inilah para pengemis memanfaatkan setiap orang agar memberi. Namun, ketika kita ingin mendonasikan uang, bukankah lebih baik jika diberikan kepada lembaga-lembaga amal/kemanusiaan yang tentunya lebih bertanggung jawab?

Memang, kondisi tersebut selaras dengan hasil survei Charities Aid Foundation 2019 yang menunjukkan bahwa Indonesia bertengger di puncak sebagai negara paling dermawan pada 2018. Pencapaian ini mengalami tren peningkatan sejak 2010. Menurut survei tersebut, tingginya persentase nilai yang diperoleh kemungkinan terkait dengan donasi bernilai religi semacam zakat atau pun infak dan sedekah. Sebagai perbandingan, Baznas saja mencatatkan dana yang terkumpul pada 2018 mencapai Rp8,1 triliun. Bahkan, nilai tersebut masih dianggap relatif kecil dibandingkan potensi yang diperkirakan mencapai 1,75% dari PDB atau sekitar Rp232 triliun.

Pantas saja para pengemis memanfaatkan rasa iba pemberi sumbangan dan menggunakan tradisi-tradisi atau kepercayaan keagamaan sebagai produk bernilai jual. Kesesuaian antara karakteristik pengemis dan lokasi mengemis semakin meningkatkan eksistensi pengemis atau jumlah pendapatan yang diperolehnya. Meskipun begitu, dari sisi pengemis sendiri, menurut Nuraeni (2015), pengemis memiliki istilah yang berbeda-beda di setiap daerah untuk mengganti kegiatan mengemis.  Hal ini mengindikasikan bahwa,  boleh jadi, para pengemis ini juga risih dengan istilah pengemis yang disematkan kepada mereka.

Kasus pengemis “kaya” yang berulang mengindikasikan bahwa masih banyak masyarakat yang memberikan sumbangan tanpa pikir panjang. Jika muncul pertanyaan, apa yang salah dengan memberi? Permasalahannya bukan di kebaikan pemberiannya, tapi dengan memberi berarti kita telah memberikan pembelajaran yang salah kepada mereka karena akan membuat mereka terus mengemis. Kaidahnya, sesuatu yang baik itu belum tentu bernilai benar, apalagi jika kebaikan itu juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.   

Permasalahan ini sepertinya menuntut peran semua pihak, tidak hanya pemerintah melalui program sosialnya untuk merehabilitasi PMKS tersebut. Disadari atau tidak, kedermawanan kita kepada para pengemis hanya membuat kemiskinan menjadi siklus tak berujung. Jadi, mari biasakan yang benar dengan tidak memberi kepada para pengemis. Dengan begitu, kita bisa memberikan ruang yang lebih lapang kepada pemerintah untuk memberikan pembelajaran kepada para pengemis.

*) Peneliti Junior Visi Teliti Saksama

Referensi:
[CAF] Charities Aid Foundation. 2019. CAF World Giving Index: Ten Years of Giving Trends. 10th Edition. Charities Aid Foundation, London.

Christiawan P I, I G A Wesnawa, A R Indah. 2017. Determinasi Keberadaan Pengemis Perkotaan di Kecamatan Denpasar Barat. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 6 (1): 42-50.

https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/07/15/1629/persentase-penduduk-miskin-maret-2019-sebesar-9-41-persen.html [10 Desember 2019]

https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/07/15/1630/gini-ratio-maret-2019-tercatat-sebesar-0-382.html [10 Desember 2019]

Nuraeni H G. 2015. Komodifikasi Keagamaan di Kalangan Pengemis di Kampung Pengemis Kota Bandung Jurnal Dakwah, 16 (2): 257-289.

  • Share:

Baca Juga

Kultura

Segarnya Wisata Bawah Air di Derawan

  • 23 Januari 2021 , 14:38
Kultura

Efek Terlalu Banyak Pakai Deterjen Saat Mencuci

  • 22 Januari 2021 , 11:41
Kultura

Pasar Mobil Mewah Masih 'Cerah'

  • 18 Januari 2021 , 09:00

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Ironi Si Pengolah Sandi


  • Terbaru

Pemerintah Bertekad Kembalikan Kejayaan Produk Keramik Indonesia
25 Januari 2021 , 21:00

Target ini perlu ditopang dengan kebijakan strategis, diantaranya melalui program substitusi impor 35% pada 2022

Mendagri Minta Pemda Monitoring KIPI
25 Januari 2021 , 21:00

Efek samping bisa terjadi. Kekebalan komunitas tetap harus terbentuk

Menyiasati Kesempatan Kala Pembatasan
25 Januari 2021 , 21:00

Kursus daring kian diminati. Biaya dan penyajian jadi perhatian

Menyiasati Kesempatan Kala Pembatasan
25 Januari 2021 , 21:00

Kursus daring kian diminati. Biaya dan penyajian jadi perhatian

Menjaga Asa Tanpa Laga
23 Januari 2021 , 18:00

Pandemi membuat suporter tidak lagi bisa memenuhi tribun stadion. Hanya kecintaan terhadap tim kesayanganlah yang membuat mereka tetap bertahan, meski tanpa kepastian

PELUANG USAHA

Modal Minim Bisnis Reparasi Kereta Angin
22 Januari 2021 , 20:22

Peluang laba dari pengelolaan bengkel sepeda masih terbuka lebar meski tren kemudian turun

Buah Senarai Samar Kompetisi
21 Januari 2021 , 21:00

Kelanjutan kompetisi masih tanda tanya. Beban klub tak tersolusikan

Kandas Laba Dari Olahraga
19 Januari 2021 , 21:00

Tak semua cabor bisa diadakan online. Faktor sponsor tetap menentukan

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

Mencari Pengganti Kedelai
16 Januari 2021 , 18:00

Protein nabati pada kedelai paling lengkap. Rasanya membuat sulit tergantikan

  • Fokus
  • Paradigma

Gaya Hidup Sehat Dan Bisnis Apparel Yang Melesat
21 Januari 2021 , 18:38

Pada masa pandemi, tampilan kasual yang dipengaruhi gaya sporty, akan tetap penting bagi pelanggan, khususnya Gen Z.

Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Mobil listrik mulai dilirik. Namun baru sebagian kelompok yang mampu menjamahnya. Selain faktor harga, ketersediaan fasilitas pendukung teknologi ini juga jadi pertimbangan calon konsumennya.

Krisis Repetitif Kedelai
15 Januari 2021 , 16:00

Tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.