- Nasional
HIndari Bencana Dengan Kearifan Lokal
27 Januari 2021 , 20:44

JAKARTA – Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja, menekankan pentingnya mengelola kearifan lokal untuk menghindari bencana alam yang makin lama kian meningkat, terutama di lingkungan urban.
Sarwono mengungkapkan, masyarakat yang hidup dengan kearifan lokal lebih mudah beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dan tahan terhadap bencana dibandingkan penduduk perkotaan yang lebih modern.
Untuk itu, perlu ada pendalaman terhadap kearifan lokal yang sumbernya berasal dari pengetahuan leluhur yang berumur ratusan hingga ribuan tahun.
"Dalam hal ini kearifan lokal adalah sesuatu yang harus kita gali. Karena kita juga tahu, masyarakat yang hidup dengan kearifan lokal itu lebih resilient dibandingkan dengan kita-kita yang hidup di kota," kata Sarwono dalam diskusi Pojok Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara virtual, Rabu (27/1).
Sarwono berkisah tentang pengalamannya dalam membangun infrastruktur saat menjadi mahasiswa Jurusan Teknik Sipil di Insitut Teknologi Bandung sekitar tahun 1960-an. Saat itu, pengetahuan tentang pentingnya terumbu karang bagi ekosistem laut masih sangat minim.
"Kami yang saat itu menjadi murid, belajar bahwa untuk membangun bangunan di pinggir pantai, bahan yang paling mudah didapat dan paling murah adalah terumbu karang," ungkapnya.
Beberapa infrastruktur yang dibangun di pinggir pantai menggunakan terumbu karang adalah hal yang lazim. Seperti Bandara Soekarno Hatta pondasinya digali dari terumbu karang di sekitar Teluk Banten dan Teluk Jakarta. Begitu pula pembangunan Jalan Trans Sulawesi yang pondasinya digali dari Selat Makassar.
"Kami para engineer tidak tahu, kami sedang merusak. Kami baru mengerti belakangan. Kemudian Kementerian Pekerjaan Umum baru melarang penggunaan terumbu karang untuk bahan bangunan tahun 1994," kata dia.
Sarwono tidak dapat membayangkan kerugian yang telah dialami akibat ketidaktahuan dalam memahami aspek ekologi dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Sebaliknya, masyarakat tradisional yang hidup di pesisir justru sudah lama mengelola terumbu karang secara berkelanjutan.
Belajar dari hal ini, Sarwono ingin agar pemerintah sebagai pemangku kebijakan menggunakan pengalaman empirik yang digunakan masyarakat lokal berabad-abad lamanya.
"Jadi ini adalah suatu pembelajaran dan kami harapkan sebaiknya ini masuk ke ranah kebijakan publik sehingga keanekaragaman kita ini dapat menjelma menjadi sumber dari energi positif bagi kita," ujarnya. (Seruni Rara Jingga)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN