- Ekonomi
Awasi Penjualan Sebelum Bahas RUU Larangan Minol
18 Januari 2021 , 18:25

JAKARTA – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan menyebutkan bahwa DPR dan pemerintah sebaiknya terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan yang sudah terjadi ketimbang membahas Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol.
Menurut Pingkan, permasalahan meningkatnya jumlah peminum alkohol di bawah 21 tahun tak lepas dari maraknya penjualan minuman beralkohol secara online, bahkan melalui platform e-commerce.
"Adanya potensi peningkatan angka peminum di bawah umur ini didasarkan pada lemahnya pengawasan terhadap mekanisme pembelian lewat platform online," kata Pingkan di Jakarta, Senin (18/1).
Rumitnya pengawasan, lanjut Pingkan, tak lepas dari belum tersedianya kepastian hukum dari segi regulasi serta data yang akurat mengenai besarnya pasar dari penjualan minuman beralkohol secara online.
Kekhawatiran meningkatnya jumlah peminum di bawah umur sangat wajar menurutnya. Pasalnya, catatan CIPS menunjukkan setidaknya ada 13 platform online yang menjual minuman beralkohol dimana separuhnya merupakan platform e-commerce umum.
Ia pun sangat menyayangkan saat ini belum ada regulasi penjualan minuman beralkohol secara online yang mengakibatkan ketidakseragaman sistem pengawasan untuk pemeriksaan KTP dan verifikasi usia guna mencegah peminum di bawah umur.
Bahkan, Pingkan menyebutkan bahwa studi CIPS menunjukkan dari 13 platform tersebut hanya 2 yang mensyaratkan adanya pemeriksaan kartu identitas di halaman platform mereka.
"Sedangkan setelah menyelesaikan proses transaksi dan melanjutkan pembayaran, hanya platform e-commerce umum yang mengharuskan pelanggan untuk memberikan data KTP sebagai metode verifikasi usia," ucap dia.
Sementara berdasarkan klasifikasi jenis pedagang, ada juga penjual perorangan atau rumahan dan toko minuman keras resmi yang menggunakan platform e-commerce untuk menjajakan produknya secara daring. Namun demikian, beberapa platform tak lagi mengizinkan pedagang menjual minuman beralkohol.
Di samping itu, pantauan CIPS juga menunjukkan bahwa terdapat tren industri rumahan yang marak menjual minuman beralkohol palsu secara online melalui platform media sosial yang justru lebih berisiko bagi para konsumen.
"Karena ada indikasi bahwa platform e-commerce enggan mengambil risiko yang mungkin muncul dari ketidakpastian regulasi yang berlaku," tandasnya.
Sebagai informasi, larangan minuman beralkohol bagi anak di bawah umur tak lepas dari risiko kesehatan masyarakat di kalangan remaja. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2019 oleh Kemenkes menunjukkan remaja usia 15–19 tahun sudah mengonsumsi alkohol.
Tragisnya, kelompok itu cenderung mengonsumsi alkohol oplosan, yakni dicampur dengan bahan lain seperti minuman energi, minuman soda, hingga obat-obatan herbal. Minuman tersebut terkadang mengandung zat berbahaya seperti metanol yang akibat terparahnya adalah kematian.
Untuk itu, Pingkan menyarankan DPR dan pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali urgensi RUU Larangan Minuman Beralkohol dan menengok permasalahan utama dari kebijakan yang sudah ada, antara lain bahaya oplosan dan nihilnya regulasi mengenai penjualan minuman beralkohol pada anak di bawah umur.
"Kemudian harus dipikirkan penegakan hukum dan mekanisme pengawasan yang efektif terhadap para pedagang yang menjual minuman beralkohol pada anak di bawah umur dan tidak melakukan pemeriksaan identitas masih jauh dari harapan untuk penjualan offline," pungkasnya. (Yoseph Krishna)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN