- Nasional
Awas Aksi Tipu-tipu Bermodus Seksualitas
26 Januari 2021 , 21:00

JAKARTA – Pandemi covid-19 telah mengubah kebiasaan manusia. Pertemuan-pertemuan fisik jauh berkurang karena pembatasan. Karenanya, kian banyak yang terdorong berinteraksi menggunakan media sosial.
Revan (25)–bukan nama sebenarnya–salah satunya. Belakangan dia intens menggunakan Twitter. Dia mengaku menggunakan platform media sosial ini untuk mencari teman baru. Selama pandemi ini, bermacam pengalaman diperolehnya dari medsos, termasuk pengalaman tertipu gara-gara foto.
Kejadian ini dialami saat melihat ada foto seksi yang muncul di timeline Twitter-nya. Revan yang kadung tergoda langsung menyapa lewat direct message begitu mendapati sumber pengirim foto itu.
Si pemilik akun lantas menjanjikan mengirimkan foto dan video bugil. Dengan syarat, Revan mentransfer uang senilai Rp200 ribu. Revan setuju.
Foto dan video yang dijanjikan memang dikirim. Tetapi tanpa bagian wajah. Revan makin penasaran. Dia meminta video call, namun permintaan ditolak. Akun itu malah menawarkan untuk bertemu di hotel dengan biaya Rp1 juta satu malam. Syaratnya harus transfer lebih dulu ke nomor rekening. Revan lagi-lagi bersedia.
Tanpa curiga, Revan bergegas ke lokasi. Barulah di perjalanan, dia sadar akan potensi penipuan. Setelah membuka Twitter, Revan segera tahu kalau dia sudah kena tipu. Ya, akun Revan telah diblok akun penipu itu.
“Enggak tahu, gue seperti dibuat penasaran buat pengen liat lagi, jadi gue berani saja transfer. Eh ternyata gue dimanfaatkan akun penipu. Bahkan, gue enggak tahu sebenarnya dia cewek atau cowok," cerita Revan kepada Validnews, Minggu (24/1).
Cerita Revan hanya sebagian kecil dari jumlah total 649 penipuan berbasis online yang diadukan ke Direktorat Siber (Ditsiber) Bareskrim Polri sepanjang tahun 2020.
Menurut Ditsiber Bareskrim Polri, tersangka biasanya yang melakukan penipuan dengan membuat sejumlah akun di beberapa media sosial. Jadi tak hanya lewat Twitter.
Modus ini untuk mencari pria-pria hidung belang sebagai calon korbannya. Tersangka akan berpura-pura menjadi wanita yang siap melayani jasa video call sex (VCS). Beberapa kasus penipuan seperti ini juga berujung ke pemerasan.
Menurut catatan Patroli Siber Bareskrim Polri, terdapat peningkatan jumlah penipuan online setelah masa pandemi. Pada Januari sampai Februari 2020, hanya ada 246 aduan soal penipuan online. Sementara, Maret sampai Mei atau saat masa pandemi, jumlah aduan meningkat signifikan ke angka 403 aduan.
Tren pencarian mutual lewat akun twitter base friends with benefit (FWB) atau VCS sejatinya merupakan transaksi seksual di dunia digital yang sudah ada sejak lama. Namun, sejak pandemi covid-19, penikmat tren FWB dan VCS naik pesat.
Hal ini diakui oleh salah satu admin dari akun @F**ESS yang tidak mau disebutkan namanya. Dia mengungkapkan, dalam satu hari, ada sekitar 50-60 antrean sender untuk mencari mutual FWB di twitter. Jumlah ini meningkat sekitar 30% setelah masa pandemi covid-19.
Dia juga banyak menerima aduan penipuan dari para followers, sama seperti cerita Revan. Jumlahnya bisa mencapai 50 aduan dalam kurun waktu satu bulan.
"Banyak sih yang ngadu, tapi ini sudah bukan tanggung jawab dari kami lagi. Karena sebenarnya rules-nya tegas, tidak boleh ada yang jualan. Ketika ada sangkut paut menipu, itu sudah di luar kami," terang admin kepada Validnews, Minggu (24/1).
Ia mengungkapkan, sebenarnya ide awal pembuatan akun Twitter-nya adalah untuk memperluas jaringan pertemanan semata. Tapi, akhir-akhir ini disalahartikan oleh para warganet sebagai akun mencari teman untuk making love (ML) atau VCS atau video call sex.
"Awalnya memang kami ingin seperti Tinder, bikin akun yang tujuannya untuk nyari teman, memperbanyak circle pertemanan. Tapi sekarang sayangnya banyak stigma ke arah negatif," cetus dia.
Harapan Terhadap Medsos
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Lubis menyebutkan, pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang harus bersosialisasi dan berinteraksi. Makanya, tak heran orang jadi terdorong untuk mencari interaksi di media sosial di masa pandemi ini.
"Selama pandemi kan kita dibatasi kemana-mana. Artinya aktivitas orang lebih banyak lewat daring. Nah itu mendorong orang untuk mencoba-coba berkenalan lewat daring," kata Rissalwan kepada Validnews, Sabtu (23/1).
Belakangan pengguna aplikasi kencan memang meningkat. Menurut firma riset Social Catfish, jumlah pesan yang dikirim pengguna aplikasi kencan Bumble di Amerika Serikat pada 2020 naik 21%. Dan, jumlah pengguna Tinder naik 10–15% setiap pekan.
Kemudian jumlah pengguna aplikasi OkCupid di seluruh dunia juga meningkat 280% pada April 2020 dibandingkan bulan sebelumnya. Perusahaan ini bahkan memprediksi penggunaan aplikasi kencan daring akan tetap menjadi tren pada 2021.
Data dari Tinder pada 2020, di Indonesia jumlah percakapan meningkat 23% pada akhir Februari hingga akhir Maret 2020. Kemudian rata-rata lama percakapan juga meningkat hingga 19%. Pada pertengahan April 2020, pengguna Tinder rata-rata mengirim pesan 61% lebih banyak.
Rissalwan menilai, pertemuan secara daring akan menjadi pengalaman spiritual yang baru bagi setiap pengguna. Maka dari itu, beberapa orang akan menganggap aplikasi kencan online merupakan salah satu opsi untuk menemukan teman kencan atau sekadar ngobrol.
Menurutnya, masyarakat Indonesia pada umumnya memiliki sikap yang membentuk suatu harapan sendiri yang berlebihan. Jadi, penipuan bermodus VCS ini terjadi lantaran korban punya harapan baru dari media sosial, akibat interaksi di dunia nyata terbatasi pandemi.
Secara umum, fenomena ini merupakan sebuah pergeseran norma yang didukung dengan kecenderungan seks bebas semakin meluas di Indonesia. Maka, perlu fungsi orang tua untuk memberikan kontrol kepada anaknya yang kini lebih sering menggunakan aktivitas daring selama pandemi.
"Perilaku seks bebas bisa jadi pintu masuknya lewat kencan online," urai dia.
Selain perlu peran orang tua, pemerintah juga perlu turun tangan dalam mengatasi hal ini. Menurut Rissalwan, pemerintah perlu ikut mengontrol efek dampak sosial dari pandemi covid-19 di luar aspek kesehatan.
Selama ini, pemerintah terkesan abai soal fenomena seperti ini. Padahal, sudah banyak menimbulkan korban dan merugikan masyarakat dari segi materiil dan nonmateriil.
"Kemenkominfo harus memberi perlindungan terhadap orang-orang yang akses media sosial. Ini kalau saya bilang second layer effect of pandemic yang harusnya pemerintah sudah antisipasinya," papar dia.
Ia berharap, ke depannya pemerintah segera membuat hukuman atau sanksi yang jelas untuk membuat efek jera pelaku. "Sekarang satu saja aturan enggak ada, bagaimana pemerintah mau membuat payung perlindungan (bagi user aplikasi kencan online) yang lebih efektif," tuturnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sejatinya tidak memiliki regulasi yang khusus menjerat tindakan penipuan online bermodus seksual. Regulasi terkait hanya mengatur soal prostitusi online.
Namun, penipuan online bermodus seksualitas dimungkinkan dijerat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Plt Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu mengatakan pelaku penipuan bermodus seksualitas bisa dijerat Pasal 27 ayat 1.
Adapun Pasal 27 ayat 1 berbunyi, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Secara gamblang, pasal ini tidak menjelaskan secara detail tentang penipuan bermodus transaksi seks di media online. Ia menegaskan segala bentuk pelanggaran kesusilaan melalui media elektronik, baik itu bermodus penipuan atau bukan, sudah melanggar ketentuan Pasal 27 ayat 1.
"Artinya tanpa konteksnya itu penipuan atau tidak penipuan, menawarkan diri melalui media elektronik itu sudah melanggar ketentuan UU ITE," kata pria yang akrab disapa Nando itu kepada Validnews, Jumat (22/1).
Adapun transaksi tipu-tipu bermodus prostitusi bukan berasal dari sebab yang halal. Maka, seseorang yang tertipu dalam kasus ini juga biasanya merasa malu dan tidak melapor.
"Dalam hal ini yang melaporkan malu juga. Karena dia melakukan transaksi yang memang dilarang, baik fisik maupun online. Selain itu transaksi ini juga adalah sebuah perjanjian yang tidak dibenarkan oleh aturan kita," jelasnya.
Selain melalui regulasi, Kemenkominfo juga menyebut telah melakukan pengawasan terhadap konten-konten yang melanggar kesusilaan dengan memblokir situs-situs yang bermuatan negatif termasuk pornografi. Sejak tahun 2009 hingga 2020, tercatat ada 1,8 juta situs-situs menyimpang yang ditutup. Sebanyak 80 persennya merupakan melanggar kesusilaan.
Kemenkominfo mengawasi dan melacak situs-situs yang bermuatan pornografi dengan beberapa cara. Pertama, menggunakan mesin pengais (crawling) untuk menentukan konten negatif berdasarkan kata kunci, gambar, maupun video. Melalui sistem ini, konten-konten yang bermuatan pornografi bisa langsung diblokir. Kemenkominfo juga melakukan pemblokiran berdasarkan laporan dari masyarakat. .
Nando menjelaskan, mesin pengais ini telah diluncurkan sejak tahun 2018 menggunakan artificial intelligence (AI) dan mampu mengklasifikasikan jutaan tautan yang terdeteksi mengandung konten negatif.
Pada saat sama, kerja sama dengan pihak penyedia layanan media sosial seperti Twitter, juga dillakukan untuk dapat memblokir akun-akun yang bermuatan pornografi.
Manipulasi Psikologis
Apa yang dialami Revan dianalisa juga oleh pakar siber dari Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha. Penipuan online dengan modus chat seksual biasanya menggunakan metode social engineering. Artinya, kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan interaksi dengan manusia.
Metode ini menggunakan manipulasi psikologis untuk menipu korban agar mereka melakukan kesalahan keamanan dan memberikan informasi sensitif.
"Pelaku bisa mengaku sebagai seorang wanita dan menggoda korbannya. Mereka mengiming-imingi akan berpose lebih berani tapi meminta ditransfer sejumlah uang lebih dahulu," terang Pratama kepada Validnews, Senin (25/1).
Ia menuturkan, masalah fundamentalnya adalah tidak adanya edukasi sejak dini dari negara soal internet yang aman. Adanya hanya ancaman pasal-pasal dari KUHP, UU Pornografi dan UU ITE, yang notebene hanya mengandalkan pendekatan top down dan pendekatan law enforcement.
Sementara, pendekatan bottom up dan kultural lewat pendidikan edukasi hampir tidak ada. Di kurikulum pendidikan juga Pratama tidak menemukan ajaran yang fokus memberikan pelajaran soal bagaimana berinternet yang sehat, aman dan produktif.
"Yang ada adalah norma budaya dan agama, yang itu tidak cukup. Apalagi para orang tua, tokoh masyarakat dan tokoh agama ini kan bukan native digital, tidak mengenal lebih dalam dunia digital," tambahnya.
Ke depannya, ia berharap peran pemerintah harus lebih ditingkatkan. Selain ancaman hukuman dengan UU, baiknya negara hadir lebih dalam dengan kurikulum pendidikan, disertai edukasi ke bawah lewat penyuluhan soal internet sehat di level RT dan keluarga.
Jika itu diterapkan, ada kemungkinan kasus seperti ini bisa dikurangi tidak hanya dengan pendekatan hukum. Melengkapi upaya komprehensif ini, perlu juga pendekatan kultural lewat edukasi. Dengan demikian takkan ada lagi Revan-revan yang lain. Juga, pelaku-pelaku kejahatan tersebut bisa hilang. (Gisesya Ranggawari, Maidian Reviani, Seruni Rara Jingga)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN