- Kultura
Atasi Kelangkaan Tempe Dengan Kedelai 'Nuklir'
13 Januari 2021 , 17:00

JAKARTA – Anda penyuka tempe atau tahu? Atau justru suka keduanya? Sempat mengalami kesulitan mendapatkannya belakangan ini? Ya, pada pergantian tahun memang tempe sempat menghilang lantaran pemogokan perajin yang kesal lantaran kenaikan harga kedelai sangat signifikan.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi bahkan, menyebutkan harga kedelai di pergantian tahun tersebut, adalah kali tertinggi selama enam tahun terakhir. Harganya mencapai US$13 per gantangnya di pasar global. Minimnya produksi kedelai lokal, membuat ketergantungan sangat tinggi terhadap pasokan kedelai dari sejumlah negara. Amerika Serikat (AS), Brasil, Argentina, dan India menjadi asal kedelai bahan pembuat tempe dan negeri ini.
Minimnya produksi kedelai di Tanah Air membuat Badan Tenaga Nuklir (BATAN) sampai turun tangan. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi BATAN meneliti kedelai, dan kini sudah menghasilkan dua varietas kedelai unggul supergenjah yang dinamai Sugentan 1 dan Sugentan 2. Kualitas kedelai ini bahkan diklaim lebih pas untuk mereka yang ingin hidup sehat.
Tinggi Protein
Sugentan yang merupakan kependekan dari Super Genjah BATAN, adalah varietas kedelai hasil perbaikan dari varietas Argomulyo.
"Sugentan 1 dan Sugentan 2 yang kita tunggu Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian-nya," kata Kepala BATAN Anhar Riza Antariksawan dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu (13/1).
Peneliti BATAN Arwin menjelaskan, varietas kedelai Sugentan 1 dan Sugentan 2 dihasilkan dari perbaikan varietas Argomulyo. Cara perbaikan didapat dengan penyinaran radiasi gamma pada dosis 250 gray. Dari penyinaran ini, didapat varietas kedelai yang berumur tanam pendek, kurang dari 70 hari, dengan produktivitas tinggi, tahan hama, dan dapat ditanam sebagai tanaman sela.
Jika dibandingkan dengan varietas Argomulyo, Sugentan lebih genjah. Umur tanam Sugentan sekitar 67 sampai 68 hari, lebih pendek dibandingkan umur tanam induknya yang berkisar 86 sampai 87 hari.
Hasil pengembangan ini menyebabkan Sugentan bisa berproduksi per hektare rata-rata 2,7 ton atau lebih banyak ketimbang produktivitas induknya yang sekitar 2,2 sampai 2,4 ton per hektare.
Sugentan 1 dan Sugentan 2 juga lebih tahan terhadap penyakit karat daun, hama pengisap polong, dan hama ulat kerayak dibandingkan dengan induknya. Keren, kan!
Hasil kerja badan yang biasa mengurusi nuklir ini diyakini bisa menjadi bagian dari solusi masalah ketersediaan kedelai di Indonesia karena sebagian besar kebutuhan kedelai diimpor.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan mengatakan, rata-rata varietas-varietas kedelai unggul yang diciptakan Batan memiliki protein yang lebih tinggi dan lemak yang lebih rendah dibanding kedelai impor. "Kedelai Batan lebih tinggi protein dibanding kedelai impor," urainya.
Dari hasil penelitian, Anhar menuturkan rata-rata kandungan protein dari varietas kedelai Batan ini punya kadar protein 39,82% lebih tinggi dibandingkan kedelai impor yang sebesar 37,1 %. Sebaliknya, rata-rata kandungan lemak kedelai Batan sedikit lebih rendah. Biasanya, kedelai impor mengandung 19,41 % lemak. Sedang kedelai lokal ini hanya mengandung 17,61%$ lemak. Baik juga buat yang ingin diet.
Anhar menuturkan hingga saat ini ada 14 varietas kedelai unggul yang telah dikembangkan Batan. Ada Muria, Tengger, Meratus, Rajabasa, Mitani, Mutiara 1, Mutiara 2, Mutiara 3, Gamasugen 1, Gamasugen 2, Kemuning 1, Kemuning 2, Sugentan 1, dan Sugentan 2.
Khusus untuk Sugentan 1 dan Sugentan, saat ini sedang menunggu Surat Keputusan Menteri Pertanian. Dua varietas kedelai unggul yang baru itu sudah mendapatkan rekomendasi calon varietas tanaman pangan sebagai varietas unggul dari Tim Penilai Varietas Tanaman Pangan pada Desember 2020.
Batan mendorong untuk menggunakan kedelai lokal dari varietas unggul yang tentunya jauh lebih segar, sehat dan enak.
Produksi Dunia Melorot
Anhar menuturkan varietas-varietas unggul tersebut dikembangkan dengan sasaran meningkatkan produktivitas, mempersingkat umur tanam, dan membuat tanaman lebih tahan hama. Ujungnya, tentu agar petani di Indonesia semakin tertarik menanamnya dan bisa meningkatkan pendapatan, guna mendukung upaya swasembada kedelai.
Pada kesempatan berbeda, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang dikutip dari Antara, menyebutkan harga kedelai kini memang sangat tinggi. Satu bushel, atau segantang dengan berat 27,2 kg, mencapai US$13 atau sekitar. Meroketnya harga ini karena dampak produksi yang menurun disebabkan covid mendunia, mogok pekerja dan cuaca. Di sisi lain, harga ini bertambah dengan harga distribusinya.
Di tengah kondisi ini. China yang menjadi negara importir terbesar kedelai malah meningkatkan jumlah permintaannya dari 15 juta ton menjadi 28 juta ton. Mereka pakai kedelai untuk pakan ternak babi. Walhasil harga melonjak.
Di Tanah Air, Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonensia (Gakoptindo) menyebutkan bahwa harga kedelai melonjak hingga Rp9.300–9.800 per kg, dari kisaran harga normal Rp6.000–7.000 per kg.
Adanya varietas made in Batan memang menjadi angin segar. Teknologi radiasi isotop yang digunakan untuk menciptakan jenis kedelai unggul menjadi hal yang membukakan mata awam, bahwa nuklir banyak berguna banyak aspek kehidupan.
Tapi, masyarakat kebanyakan maukah mengonsumsinya? Enak kah rasanya? Anda mau kah mencicipi tempe ini?
Nah, pertanyaan-pertanyaan di atas adalah tantangan yang harus dilalui untuk memasarkannya lebih luas. (Rikando Somba)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN