- Kultura
Angkot Kala Pandemi, Benahi Atau Suntik Mati
18 Juni 2020 , 20:57

JAKARTA – Setelah mesin angkutan kota (angkot) yang dikendarai mati, Freddy (28) si pengemudi langsung turun dan berdiri di pintu penumpang masuk angkutan umum itu. Waktu tinggal menunggu beberapa jam agar beranjak dari Rabu (17/6) ke hari berikutnya.
Tak lama kemudian, dua orang yang memikul karung besar menuju pintu masuk angkot. Karung pun berpindah dari gendongan dan diletakkan di dalam angkot.
“Rapiin ya pir,” satu orang bicara pada Freddy.
“Berapa banyak?” ujarnya balik bertanya, sambil mengepulkan tinggi-tinggi asap dari sebatang rokok yang dia isap.
Angkutan penumpang itu ternyata juga bersulih peran menjadi pengangkut barang dagangan para pedagang di pasar-pasar tradisional. Kepada Validnews, Freddy mengaku, sudah empat tahun menambah penghasilan dengan mengantarkan sayuran dari Pasar Induk Kramat Jati ke Pasar Pondok Gede, Kota Bekasi.
Sambil menyelam minum air. Saat tak terisi penuh dengan karung berisi sayur, penumpang pun bisa diangkutnya.
Maklum, ia punya target yang harus dipenuhinya saban hari. Dari hasil narik, minimal Rp250 ribu per hari harus ia dapatkan. Sebanyak Rp100 ribu untuk setoran ke pemilik angkot, kemudian Rp50 ribu untuk bensin dan sisanya dia bawa pulang untuk menghidupi istri dan dua anaknya.
Karena itulah, ketimbang hanya ngetem menunggu penumpang yang kian hari kian menyusut, ia pun mengangkut karung-karung sayur. Lumayan, sekali mengangkut karung-karung tersebut, Freddy dibayar Rp35 ribu.
Namun, begitu sering Freddy harus menelan kekecewaan dan hanya membawa sedikit hasil ke rumah. Meski sudah berjam-jam ‘narik’, hanya sedikit yang dia dapat. Setoran pun terpaksa diutang.
“Ini sudah lama, sejak ada transportasi massal dan ojek online,” tutur Freddy.
Tak heran, karena fokus mengejar setoran, keselamatan dan kenyamanan penumpang sudah tak lagi jadi prioritasnya. Saat pagebluk covid-19 melanda, keharusan menggunakan alat pelindung diri, minimal masker, dan menjaga jarak, selalu dia abaikan. Pun saat ia mengangkut dan mengantarkan karung-karung berisi sayuran dari pasar ke pasar.
Bukan tak terpikir, sesekali terbersit di benaknya, virus mematikan itu bersarang di tubuhnya. Apalagi, pasar tradisional di Jakarta tengah jadi sorotan lantaran sempat muncul klaster positif covid-19 yang menyerang sejumlah pedagang.
Tak tertutup kemungkinan, angkot yang digunakan untuk mengangkut barang terpapar virus dan bisa menjadi media penyebar ke dirinya, keluarga, penumpang angkotnya atau ke pedagang pasar lainnya.
Apalagi, meski penumpang angkot sudah berkurang drastis saat ini, penumpang tak benar-benar hilang. Muhclis (28), karyawan toko handphone di Pusat Grosir Cililitan (PGC), Jakarta Timur, misalnya. Ia mengaku masih menggunakan angkot untuk pulang pergi ke tempat kerja karena penghasilannya yang minim.
“Murah dan sesuai kantong,” ujarnya saat ditemui di PGC, Rabu (17/6).
Ia tak menyangkal, ada sedikit kekhawatiran saat menumpang angkot. Perilaku sopir angkot yang kerap tak menggunakan masker dan penumpang yang berdekatan tanpa ada batas jarak bikin ia tak nyaman.
“Ya kalau dibilang takut, sudah pasti,” imbuh Muhclis.
Namun apa daya, Muhclis harus berangkat ke kerja setiap hari di sekitaran PGC. Hanya angkutan umum yang bisa diandalkannya. Jika ingin naik Transjakarta, Muhclis harus menunggu lebih lama.
Minim Kepatuhan
Kekhawatiran Freddy dan Muchlis soal covid-19, sejatinya senada dengan temuan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Salah satu pengurus YLKI Agus Suyatno menyebutkan, berdasarkan pengamatan yang dilakukannya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak melakukan pengawasan ketat di transportasi massal.
“Tak hanya angkot, di commuter line juga banyak terjadi pelanggaran jaga jarak. Bahkan menjadi penumpukan di berbagai stasiun. Ini sangat membahayakan dari segi penularan,” tutur Agus.
Namun, bicara potensi penularan, dia berpandangan, angkot masih jadi yang tertinggi. Sebab, angkot menjadi moda transportasi yang lebih intens berhubungan dengan orang-orang yang beraktivitas di pasar tradisional yang belakangan jadi klaster penyebaran.
“Di pasar tradisional ditemukan kasus covid-19. Sementara, akses menuju pasar banyak menggunakan angkot. Ini perlu ditelusuri sejauh mana penumpang di angkot tertular,” tegas Agus.
Sayangnya, pemerintah sendiri kerap saling lempar tanggung jawab dan merasa sudah melakukan tugasnya. Kepala Bagian Humas Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Budi Rahardjo memastikan, pemerintah sudah menegaskan kepada semua pelaku usaha transportasi massal, agar menaati Permenhub Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
“Tapi, pengawasannya balik lagi ke pemerintah daerah masing-masing,” sebutnya.
Hal senada juga dinyatakan oleh Dinas Perhubungan Pemprov DKI Jakarta yang menuturkan telah melakukan sosialisasi Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Perhubungan Nomor 105 Tahun 2020, tentang Protokol Kesehatan Penumpang Pada Masa Transisi PSBB ke sejumlah pemangku kepentingan.
“Disosialisasikan melalui WhatsApp Group (ke) Organda, para pimpinan operator, dan perangkat daerah terkait, juga kepada seluruh operator angkutan umum di wilayah DKI Jakarta,” kata Kepala Bidang Angkutan Jalan Dinas Perhubungan DKI Jakarta Susilo Dewanto, kepada Validnews, Rabu (17/6).
Dalam SK tersebut disebutkan, angkutan umum reguler hanya boleh beroperasi mulai pukul 05.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Tiap operator pun bertanggung jawab menyediakan alat pelindung diri (APD). Minimal masker untuk pegawai serta awak sarana transportasi.
Selain itu, tiap angkutan hanya diizinkan mengangkut maksimal 50% dari kapasitas maksimal. Operator juga harus melakukan disinfeksi sarana transportasi, sebelum dan sesudah beroperasi.
“Pengawasan terhadap pelaksanaan SK dimaksud dilakukan di setiap simpul-simpul transportasi oleh personel Dishub DKI Jakarta dibantu oleh Satpol PP DKI Jakarta dan lain-lain,” lanjut Susilo.
Dalam diktum ketujuh SK tersebut disebutkan, apabila operator tidak mematuhi seluruh aturan, bisa dikenakan denda administrasi paling sedikit Rp100 ribu dan paling banyak Rp500 ribu.
Denda juga bisa berupa kerja sosial membersihkan sarana fasilitas umum dengan mengenakan rompi bagi pelanggaran yang dilakukan. Unit kendaraan juga terancam diderek ke tempat penyimpanan kendaraan bermotor.
Sanksi akan diberikan oleh petugas Dishub DKI Jakarta, sejak SK ditetapkan, yakni 5 Juni 2020 sampai penetapan masa PSBB transisi selesai. Namun, kenyataan di lapangan membuktikan hal berbeda, sejumlah pelanggaran bahkan terlihat dibiarkan.
Itu sebabnya, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menjadikan kepatuhan awak angkot sebagai masalah serius. Budi menyatakan, dia bersama Kepala Dinas Perhubungan DKI dan wilayah penyangga ibu kota, akan berkeliling untuk menertibkan angkot yang membandel.
“Tingkat kepatuhan angkot ini untuk protokol kesehatan masih rendah,” kata Budi, saat menjawab pertanyaan Validnews, saat meninjau Terminal Terpadu Pulo Gebang, Jakarta Timur, Rabu (17/6).
Budi menegaskan, pemerintah harus bisa menekan para sopir dan operator agar wajib menerapkan protokol kesehatan.
“Tadi saya liat di Tangerang (tak menggunakan masker.red). Ya, akhirnya kita yang memberikan masker, supaya mereka memahami saat ini aturannya masih berlaku,” singkat Budi.
Trayek Angkot
Sementara itu, Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Shafruhan Sinungan menuturkan, selama pandemi, jumlah angkot yang beroperasi di ibu kota begitu minim. Berdasarkan catatannya, hanya empat ribuan angkutan umum yang beroperasi di DKI, turun drastis dari total keseluruhan angkot.
“Dari 14 ribu, sekarang cuma empat ribuan yang beroperasi,” jelasnya.
Menurut dia, minimnya jumlah angkot yang beroperasi ini justru bisa menjadi momentum bagi pihaknya bersama pemerintah untuk berbenah diri. Sebab, banyak permasalahan di angkutan umum, jauh sebelum wabah merebak, hingga kini belum terselesaikan.
“Rapat terakhir bersama pemerintah itu tanggal 17 Juni kemarin. Kami sepakat untuk membenahi angkot ini,” tegas Sahfruan.
Ada beberapa hal yang menjadi fokus utama pembenahan ini. Salah satunya, perbaikan manajemen operator angkot. Sejauh ini, para operator yang berbentuk koperasi itu masih melakukan pengaturan secara tradisional.
Alhasil, hingga saat ini, tak ada perubahan pengelolaan. Padahal, angkot harus bersaing dengan transportasi lain, misalnya, angkutan umum berbasis aplikasi. Perlu ada upaya besar dari para operator, agar angkot kembali jadi pilihan masyarakat luas.
Organda bersama Dishub DKI Jakarta sendiri, sejatinya telah sepakat untuk mengusung ulang jalur trayek angkot ibu kota. Alasannya, ada beberapa trayek yang berada pada kondisi jenuh, karena jumlah penumpang dengan armada yang beroperasi tak seimbang.
Shafruan menjelaskan, penyusunan ulang trayek itu bisa mencontoh program Jack Lingko. Saat meluncurkan program ini, Pemerintah DKI beserta para operator menata ulang kembali jalur-jalur yang dilewati angkot.
“Contohnya sekarang, jalur M16 Pasar Minggu-Kampung Melayu. Kendaraannya lebih dari 200 unit, jumlah penumpangnya hanya 500 orang. Jadi armadanya yang overload makanya perlu penyegaran,” lanjut Sahfruan.
Di sisi lain, dari sisi cara pembayaran pun perlu pembenahan. Saat ini, para sopir masih menerima pembayaran dalam bentuk uang tunai. Ke depan, metode pembayaran ini perlu dirubah dengan menggunakan uang digital.
“Jadi harus berpikir bagaimana bisnis ini mempunyai layanan yang baik agar disukai masyarakat. Tarifnya juga perlu diubah,” sebut Shafruan.
Kendati demikian, dalam pengaturan tarif, para operator, lanjutnya, tetap memerlukan subsidi dari pemerintah. Tujuannya, agar tarif yang diberikan masuk dalam kategori sangat murah. Dengan begitu, bisa menarik minat masyarakat untuk kembali menggunakan angkot sebagai transportasi utama.
“Sejalan dengan itu pasti ada peremajaan angkot. Dari tidak ber-AC jadi ada AC-nya. Intinya penentu nasib angkot ini ditentukan oleh kualitas layanan,” cetus dia.
Tak Laik
Ikut urun rembuk, Pengamat Transportasi dari Universitas Soegijapranata Semarang Djoko Setiwaryono menilai, angkot tak lagi tepat untuk menjadi transportasi massal. Karena dari sisi ukuran terlalu kecil dan tak nyaman bagi penumpang.
Sementara dari sisi regulasi, angkot yang kebanyakan dimiliki perorangan, tak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sementara, beleid itu mengamanatkan pengelola transportasi umum harus badan usaha berbadan hukum.
“Agar pemerintah bisa mengawasi, mengatur, bahkan membantu. Bukan praktik setoran seperti angkot sekarang ini,” urai Djoko, Kamis (18/6).
Sejak 2004, Pemprov DKI Jakarta sebenarnya sudah menggagas transportasi massal dengan mengembangkan Transjakarta. Pengusaha angkot diajak bergabung dan sopir mendapat gaji, tak lagi mengejar setoran. Pelayanan terbaik bagi konsumen pun jadi ukuran. Sayangnya, gagasan itu sampai saat ini masih saja menuai banyak tentangan dari pengusaha angkot dan sopir.
Namun, Djoko menilai, pemerintah tak boleh takut untuk mewujudkan transportasi massal dengan konsep buy the service (pembelian layanan). Program ini dijalankan oleh Pemerintah Daerah dengan mengalokasikan anggaran guna membeli layanan jasa angkutan dari BUMN, BUMD, ataupun swasta.
Sebelum hal itu dilakukan, diperlukan kriteria tertentu yang harus ditetapkan dan disepakati. Kemudian, pihak perusahaan penyedia jasa, menjalin kontrak kerja dengan pemerintah yang menyediakan anggaran.
Untuk menjalankan konsep ini dengan seiris, Dishub pun dituntut untuk berani tak memperpanjang izin trayek angkot.
“Atau, strategi lain dengan membiarkan saja (mati). Karena makin hari, angkot makin ditinggalkan konsumen,” ujar dia. (James Manullang, Yanurisa Ananta)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN