- Megapolitan
Ancaman Hasrat Akan Pengetahuan
15 Januari 2020 , 11:37

Oleh Novelia, M.Si* dan Oemar Madri Bafadhal, M.Si**
Reynhard Sinaga, satu nama ini dalam pekan terakhir telah menjadi buah bibir nasional maupun internasional, terutama bagi mereka yang banyak berkecimpung di isu LGBT (lesbian, gay, bisexsual, and transgender), baik yang pro maupun kontra. Diketahui sebagai pelajar yang sedang mengejar gelar PhD di sebuah universitas di Inggris, nama pria berusia kepala tiga ini mencuat karena dirinya divonis hukuman kurungan seumur hidup. Vonis tersebut diberikan lantaran tindakan pemerkosaan yang dilakukannya terhadap sekitar 190 laki-laki di sekitar tempat tinggalnya.
Bagaimana ia akhirnya tertangkap? Suatu saat obat yang biasa Reynhard gunakan untuk membius korbannya diperkirakan tidak berfungsi dengan baik. Biasanya, sang korban akan tidak sadarkan diri hingga semua ‘kegiatan’ selesai dan Reynhard berhasil menyembunyikan tindakannya. Itulah mengapa mayoritas korban mengaku tidak menyadari apa yang telah dilakukan sang mahasiswa doktoral kepada mereka.
Tapi pagi itu berbeda, sang korban terbangun sebelum Reynhard selesai merapikan ‘dosa’ semalam. Marah, pemuda terkait menghajar Reynhard, kemudian melaporkannya ke pihak berwenang (Pidd, 2020). Setelah beberapa waktu dilakukan pemeriksaan, dari ponselnya petugas berhasil menemukan sejumlah seri rekaman di mana Reynhard melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa pemuda Manchester yang keadaannya tidak sadar.
Psikologi, Studi, dan Aksi Ngeri
Pasca-beredar, pemberitaan terkait sepak terjang Reynhard Sinaga melahirkan berbagai reaksi dari berbagai lapisan masyarakat. Apalagi karena lelaki ini telah secara terbuka mengakui dirinya sebagai gay di lingkungannya. Beberapa individu atau kelompok anti-LGBT menggunakan momentum ini sebagai penggerak untuk makin mengecam keberadaan LGBT. Di kubu seberangnya, kelompok pro-kesetaraan – yang tentunya juga mengklaim diri melindungi hak kelompok LGBT – sibuk melakukan defense atas serangan tersebut.
Dikenal oleh beberapa penduduk sekitar kejadian, Reynhard telah menetap di Inggris sejak tahun 2007, ketika ia mulai menjalankan studi magister di Jurusan Tata Kota Manchester University. Pada kurun waktu yang berbarengan, ia juga menempuh pendidikan pada jurusan sosiologi di universitas yang sama, untuk tingkatan gelar yang sama pula. Masih di Inggris setelah meraih gelar master, pada tahun 2012 Reinhard melanjutkan pendidikan doktoral di Jurusan Geografi Manusia (Human Geography) di Leeds University, yang belum tuntas dan seharusnya masih digelutinya hingga kini (Pidd, 2020).
Selama tinggal di Britania Raya untuk menempuh pendidikan, Reynhard masih sepenuhnya dibiayai oleh orangtuanya. Hal tersebutlah yang akhirnya menjadi faktor penting ketika Intan Savitri (2020), seorang psikolog sosial yang kini mengajar di Universitas Mercubuana Jakarta, memberikan analisis terhadap penyebab aksi Reynhard melalui unggahan di akun media sosial Facebook miliknya, yang akhirnya viral melalui percakapan di berbagai aplikasi tukar pesan.
Intan melihat seri pemerkosaan yang dilakukan Sinaga sebagai bentuk ketidakberdayaannya dalam mengusahakan hubungan romantis dengan orang yang disukainya. Ketidakberdayaan ini diprediksi Intan sebagai akibat dari pola asuh orang tua yang tidak pernah berhenti menanggung segala kebutuhan sang buah hati (Simone, 2020), hingga usia di mana ia seharusnya sudah mampu membiayai diri sendiri, atau bahkan orang lain jika telah berkeluarga. Namun, dengan melepaskan sejenak faktor psikologi yang mungkin memengaruhi, bagaimana jika aksi Reynhard dilakukan secara sadar dan terencana untuk misi tertentu?
Catatan dari pihak berwajib menyatakan jika rentang waktu Reynhard menjalankan aksinya adalah sejak tahun 2015 hingga 2017. Kebetulan ataupun tidak, dalam rentang waktu itu pula, tepatnya pada tahun 2016, Reynhard mengajukan calon disertasinya, “Sexuality and Everyday Transnationalism among South Asian Gay and Bisexual Men in Manchester” (Pidd, 2020). Menemukan hal yang janggal? Judul studi tersebut menggambarkan tentang penelitian terhadap perilaku seksual seorang gay Asia Selatan dengan laki-laki dari kelompok orientasi yang berbeda, dalam hal ini biseksual.
Kalau melihat judulnya, rasanya cukup mirip dengan aksi pemuda bermarga Sinaga tersebut. Reynhard, yang merupakan South Asian Gay, melakukan tindakan seksual ‘paksa’ terhadap para korbannya, yang berdomisili di Manchester dan berorientasi heteroseksual. Meskipun bukan biseksual seperti dalam judul studi yang diajukan, namun orientasi para korban juga berbeda dengan South Asian Gay sebagai objek pertama. Atas dasar kemiripan objek yang terkesan aneh ini, muncul dugaan bahwa petualangan kriminal Reynhard tak lain adalah langkah sang pemuda untuk membuktikan hipotesis studinya. Atau, apabila menarik prediksi lebih buruk, studi tersebut bisa saja memang sengaja diajukan Reynhard untuk melayani ‘keingintahuannya’ atas orientasi seksual yang ia jalani.
Fakta lain yang juga bisa jadi mendukung kemungkinan terkait adalah bahwa Reynhard kerap mengumpulkan berbagai barang pribadi, misalnya kartu identitas, paspor, atau ponsel, milik korban-korbannya. Walau diakui sebatas sebagai penanda yang sengaja disimpan sebagai kenangan dari korban setiap usai beraksi (Pidd, 2020), jika dugaan motif praktik studi benar, bukan tidak mungkin pengambilan ‘suvenir’ tersebut dilakukan Reynhard untuk mengumpulkan data ‘informan’-nya. Jika terbukti memang begitu plotnya, ini benar-benar kasus dengan narasi yang bikin bergidik. Hasrat terhadap ilmu pengetahuan yang seharusnya membawa dampak positif, justru melewati batas dan berubah jadi negatif.
Obsesi, Pengetahuan, dan Kekejian
Dugaan terhadap motif sepak terjang kriminalitas Reynhard Sinaga yang dipaparkan sebelumnya memperlihatkan kemungkinan bahwa obsesi menjadi hal yang patut diwaspadai. Pasalnya, obsesi mampu mengubah hasrat akan elemen yang awalnya dapat berdampak baik, menjadi buruk, bahkan sangat buruk. Ilmu pengetahuan adalah salah satunya.
Dijelaskan dalam publikasi American Psychological Association (dalam Nevid, Rathus, & Greene, 2003), obsesi merupakan suatu pikiran, ide, atau dorongan yang sifatnya kuat dan terjadi berulang, dan seperti berada di luar kemampuan seseorang untuk mengendalikannya. Terkait ini, ilmu pengetahuan sendiri, barangkali tidak semua orang memiliki ketertarikan terhadapnya. Tapi bagi mereka yang menyenangi, hasrat untuk menggali elemen ini bisa diimplementasikan pada tindakan-tindakan yang tidak sepele.
Sebagai imbalan, bagi yang mampu menggunakannya secara bijak, hasrat akan pengetahuan bisa jadi hal yang berdampak baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Albert Einstein, Nikola Tesla, dan Isaac Newton misalnya, membuktikan hal tersebut dengan menggunakan hasrat akan ilmu untuk menemukan berbagai rumus dan alat yang berguna bagi generasi masa depan. Namun apa jadinya jika hasrat tersebut berkembang atau berada di tangan yang tak mampu mengendalikan sehingga berubah jadi obsesi?
Obsesi terhadap ilmu pengetahuan seringkali berkelindan dengan keinginan manusia untuk mendominasi. Pesatnya perkembangan keilmuan di bidang medis, kimia, bahkan komunikasi ketika Perang Dunia menjelaskan betapa ilmu pengetahuan sebenarnya lahir dari semangat untuk menguasai individu lain. Detasemen 731 milik tentara Jepang yang menjadikan manusia sebagai kelinci percobaan berbagai bidang ilmu merupakan salah satu contoh betapa obsesi terhadap ilmu pengetahuan terkadang tujuannya tidak lain dan tidak bukan untuk menyingkirkan orang lain.
Episode Black Museum dalam seri Netflix, Black Mirror menjadi alegori yang apik untuk menjelaskan hal ini. Black Mirror merupakan sebuah antologi horror yang mengeksplorasi dampak buruk dari perkembangan teknologi di titik yang paling ekstrem. Di episode Black Museum, kita disuguhkan kisah Rolo Haynes, pensiunan neurolog yang membuka museum memorabilia kriminal khusus alat-alat berteknologi canggih.
Di masa mudanya, Haynes menciptakan alat yang bisa mentransmisikan pikiran manusia ke subjek lain. Alat miliknya merupakan terobosan yang mampu membantu manusia agar tetap kekal—meski dalam bentuk virtual. Episode tersebut kemudian menceritakan tiga contoh pemakaian produk tersebut, yakni: (1) pikiran orang dimasukkan ke dalam pikiran orang lain; (2) pikiran orang lain dimasukkan ke benda mati; (3) Haynes mentransmisikan pikiran narapidana hukuman mati ke dalam bentuk virtual untuk dijadikan sebagai atraksi bagi orang-orang yang ingin merasakan sensasi penghukuman mati terhadap orang-orang. Tentu ketiganya berakhir tragis dan menjadi ‘suvenir’ yang disimpan di Black Museum miliknya.
Keinginan Haynes mengaplikasikan pengetahuan miliknya mendorong dirinya untuk terus menerus memutakhirkan teknologinya. Tidak ada rasa puas dalam obsesi tersebut. Satu-dua korban hanya trial and error, semua demi peradaban yang lebih baik. Di titik tersebut, yang tersisa dari ilmu pengetahuan adalah atraksi keji dan rasa ingin mendominasi. Jika teknologi merupakan anak kandung dari ilmu pengetahuan. Hari ini kita pantas bertanya, apa harga mahal yang harus kita bayar dari segala kemudahan yang ditawarkan teknologi hari ini?
Kisah Miris Penganut Akademis
Dari kisah-kisah sebelumnya, kita menyadari bahwa tak selamanya ego atas pengetahuan dapat berujung baik. Begitu juga seseorang yang memiliki riwayat akademis positif, belum tentu menjalani kehidupan yang sesuai standar moral yang dianggap baik masyarakat. Dengan serenceng catatan pendidikannya hingga bangku doktoral, Reynhard setidaknya dapat diprediksi memiliki kualitas pengetahuan dan akademis yang baik. Namun rangkaian aksi kriminal sang mahasiswa akhirnya berhasil membuat masyarakat menggelengkan kepala.
Cerita tentang akademisi yang membuat kericuhan besar melalui rangkaian kekejian juga pernah tercatat di tahun 1970-an. Theodore Robert Bundy, atau lebih dikenal sebagai Ted Bundy, terbukti sebagai pembunuh berantai dengan jumlah korban setidaknya 30 orang selama periode 1974 hingga 1978. Tak tanggung-tanggung, mayoritas korban diperkosa, dibunuh, diperkosa kembali, bahkan dibakar dan dimutilasi. Tengkorak dari beberapa korban bahkan terpajang di lemari apartemen Bundy.
Di balik kebrutalan aksinya, Ted Bundy diketahui sebagai sosok yang cukup terdidik. Ia bahkan mengenyam studi ilmu psikologi dan hukum di sejumlah kampus ternama seperti University of Washington, Temple University, University of Puget Sound, hingga University of Utah. Dengan pasokan wawasan dan gelar akademis, ditambah tampang yang cukup rupawan, Bundy pun aktif di banyak unit kegiatan mahasiswa dan organisasi kemasyarakatan. Tak hanya itu, di ranah politik, sosoknya sempat sukses sebagai juru kampanye Dan Evans dalam pencalonan Gubernur Washington hingga kembali terpilih (US Department of Justice, Federal Bureau of Investigation, 2006).
Wawasan pengetahuan ternyata tak cukup untuk menjaga sang akademisi dari tindakan di luar moral yang direstui masyarakat. Ironinya, keahlian yang didapatkan dari pengalaman organisasi dan pelatihan UKM teater di kampus, digunakan Bundy untuk menggaet para calon korban. Ia berpura-pura terluka atau menjadi pesakitan untuk mendekati para perempuan tersebut. Setelah kekejiannya terbongkar, Ted akhirnya dijebloskan ke penjara. Namun ‘kebandelan’ pria ini belum juga usai. Selama masa pengurungan ia sempat kabur hingga dua kali, sebelum akhirnya berhasil ditangkap lagi. Petualangan berikut hidupnya akhirnya usai ketika pengadilan menjatuhi hukuman eksekusi mati dengan metode kursi listrik terhadapnya yang dilaksanakan pada tahun 1989.
Kisah Reynhard, Haynes, maupun Bundy dapat menjadi pelajaran bagaimana ilmu pengetahuan idealnya perlu diiringi atau dibatasi etika dan moral yang berlaku dalam masyarakat. Pada hakikatnya, ilmu pengetahuan selalu menjadi anugerah bagi setiap manusia. Namun kejemawaan dalam penggunaannyalah yang kerap membuat ia berpotensi melahirkan bencana. Tak hanya pengetahuan, rasa sombong atas kepemilikian suatu hal seringkali memang membuat individu merasa punya kuasa penuh tanpa mengindahkan orang lain atau lingkungan. Setidaknya kenyataan ini mampu mencubit kita. Telah cukup bijaksanakah kita mengelola apa yang dimiliki?
*) Peneliti Visi Teliti Saksama
**) Peneliti dan Staf Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Sriwijaya
Referensi:
Nevid, J., Rathus, S., & Greene, B. (2003). Psikologi abnormal. Edisi kelima. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Pidd, H. (2020, Januari 6). How serial rapist posed as a good samaritan to lure victims. Retrieved from The Guardian.
Pidd, H. (2020, Januari 6). Reynhard Sinaga: the 'Peter Pan' student who raped scores of men. Retrieved from The Guardian.
Simone, D. D. (2020, Januari 7). Manchester rapes: How Reynhard Sinaga found his victims.
US Department of Justice, Federal Bureau of Investigation. (2006, Juni 21). Ted Bundy Multiagency Investigative Team Report 1992. Retrieved from Wayback Machine
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN