• Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Beranda
  • Ekonomi
  • Nasional
  • Kultura
  • Indeks
  • Ekonomi

Pengamat: Utang Pemerintah Tembus Rp5.877,71 Triliun Sulit Dihindari

Posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2020 berada pada angka Rp5.877,71 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 37,84%
26 November 2020 , 14:00
 Ilustrasi hutang nasional. Shutterstock/dok
Ilustrasi hutang nasional. Shutterstock/dok

JAKARTA – Posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2020 berada pada angka Rp5.877,71 triliun dengan rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 37,84%. Realisasi ini melebihi target, sebelumnya pemerintah menargetkan rasio utang pada 2020 hanya 37,6%.

"Hal ini disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional," tulis Laporan APBN KiTa edisi November 2020 seperti dikutip Validnews di Jakarta, Kamis (26/11).

Rincian utang pemerintah terdiri dari Rp848,85 triliun atau memiliki porsi 14% dari total utang. Adapun pinjaman dalam negeri mencapai Rp11,08 triliun. Sementara pinjaman luar negeri tembus Rp837,77 triliun yang terdiri dari pinjaman bilateral Rp315,25 triliun, multilateral Rp479,09 triliun, dan commercial banks Rp43,43 triliun.

Sementara, surat berharga negara (SBN) Rp5.028,86 yang terdiri dari surat utang domestik Rp3.782,69 triliun dan surat utang valas Rp1.246,16 triliun.

Dengan begitu, posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau meningkat 23,57% dari posisi utang akhir Oktober 2019 lalu yang sebesar Rp4.756,13 triliun.

Center of Reform on Economics (Core) Indonesia melihat kenaikan utang pemerintah pada kondisi krisis sulit dihindari baik untuk negara berkembang ataupun negara maju.

"Iya, kalau belajar dari episode krisis sebelumnya, kenaikan utang pemerintah merupakan suatu hal yang sulit untuk dihindari baik itu di negara maju maupun negara berkembang," kata Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet kepada Validnews di Jakarta, Kamis (26/11).

Seperti diketahui, sebelum pandemi covid-19 pun telah terjadi kenaikan utang pemerintah terutama dalam lima tahun terakhir ini yang disebabkan kebijakan pemerintah dalam membangun infrastruktur.

Yusuf bilang, terjadinya pagebluk ini semakin meningkatkan utang pemerintah ke level yang lebih tinggi. Meski demikian, dia menyatakan dalam kondisi seperti sekarang utang bukanlah sesuatu yang harus dibicarakan.

"Dan saya sepakat bahwa dalam rangka memulihkan ekonomi segala upaya harus dilakukan pemerintah" ujarnya.

Jika utang terus meningkat, kata dia, akan ada risiko yang kemudian mengikuti dari peningkatan utang tersebut. Risiko paling nyata, yaitu bagaimana utang akan mempengaruhi keberlanjutan fiskal. Apalagi, pemerintah berencana pada tahun-tahun mendatang setelah pandemi ini berakhir, menjaga defisit fiskal di angka 3%.

Dengan kenaikan utang pada masa pandemi dan juga pada periode pemulihan, konsekuensi yang muncul adalah akan ada bunga utang yang harus ditanggung pada kemudian hari. Yusuf juga mengatakan, belanja bunga utang bisa semakin mempersempit ruang gerak belanja pemerintah pusat.

Risiko lainnya, sambung dia, yaitu risiko nilai tukar. Jika utang dilakukan dalam denominasi mata uang asing, fluktuasi nilai tukar akan berdampak pada nominal nilai utang. 

"Namun karena tidak bisa dihindari, strategi pemerintah menjadi hal krusial dalam pengelolaan utang," ujar dia.

Manfaatkan Investor Domestik
Pandemi yang mendorong arus modal asing keluar beberapa bulan ke belakang seharusnya dijadikan momentum untuk memperdalam kepemilikan investor domestik ritel.

Pembiayaan utang saat ini dinilai harus memanfaatkan pasar keuangan dalam negeri dengan melanjutkan strategi penerbitan surat utang dengan mengincar pasar milenial yang mulai melek dengan investasi.

"Likuiditas yang masih tersedia di dalam negeri juga bisa dimanfaatkan pemerintah dalam menerbitkan surat utang," sambung Yusuf. Menurutnya, jika melihat dari ukuran dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang meningkat sebenarnya itu dapat menunjukkan bahwa likuiditas di dalam negeri masih tersedia.

Selain itu, jika bicara dari peminat di beberapa seri surat utang pemerintah menunjukkan pembeli SBN merupakan masyarakat kelompok usia yang dikategorikan milenial.

"Saat ini struktur demografi didominasi milenial, tentu ini menjadi keuntungan tersendiri bagi upaya pemerintah dalam menambah level investor domestik," ujar Rendy.

Meski utang terus meningkat, pemerintah menyatakan pengelolaan utang akan dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan berdasarkan pada kebijakan umum pembiayaan utang.

Salah satunya caranya ialah dengan mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dalam negeri dan sumber luar negeri sebagai pelengkap.

Selain itu, pemerintah juga berkomitmen untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan pembiayaan dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik. Terlihat dari penerbitan SBN Ritel secara berkala yang ternyata mendapatkan sambutan sangat baik dari masyarakat.

Adapun yang terbaru, hasil penerbitan Obligasi Negara Indonesia seri ORI018 pada Oktober lalu berhasil memperoleh dana sebesar Rp12,97 triliun dan menjaring 26.160 total investor.

Capaian tersebut diklaim menunjukkan animo masyarakat yang masih cukup tinggi meskipun ORI018 ditawarkan dengan kupon terendah sepanjang sejarah penerbitan SBN ritel dengan masa penawaran.

Tak hanya itu, pemerintah juga telah menerbitkan Cash Waqf Linked Sukuk (CELS)/Sukuk Wakaf secara ritel dengan seri SWR001. Kementerian Keuangan mencatat, hasil penjualan CWLS seri SWR001 sebesar Rp14,91 miliar menjangkau 1.041 wakif di seluruh provinsi di Indonesia.

Selanjutnya, pada bulan November ini pemerintah kembali menawarkan Sukuk Tabungan seri ST007. ST007 merupakan green instrument, artinya dengan berinvestasi pada ST007 yang hasil penerbitannya akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek hijau dalam APBN senilai maksimum Rp3,5 triliun. 

Lebih lanjut, Yusuf mengatakan pinjaman bilateral dan multilateral juga sebenarnya dapat menjadi alternatif. Namun demikian, dia juga mengingatkan bahwa ada risiko bertambahnya jumlah nominal utang ketika jatuh tempo terjadi ketika rupiah sedang melemah dari nilai awal ketika pinjaman dilakukan.

Dalam beberapa kasus, utang bilateral dan multilateral juga mensyaratkan adanya commitment fee, yaitu biaya tambahan yang harus dibayarkan ketika utang tidak dicairkan tepat waktu.

"Dalam kondisi sekarang utang sulit untuk dihindari apalagi untuk Indonesia, oleh karena itu pengelolaan yang baik menjadi penting di tengah peningkatan utang saat sekarang," jelasnya. (Rheza Alfian)

  • Share:

Baca Juga

Ekonomi

Pengusaha Sarang Walet Minta Pemerintah Akomodasi Regulasi Ekspor

  • 21 Januari 2021 , 20:40
Ekonomi

DPR Ingatkan Pemerintah Agar Realistis Tetapkan Target Lifting Minyak 

  • 14 Januari 2021 , 20:06
Nasional

Pemerintah Terbitkan SKB Sistem Satu Data Vaksinasi

  • 13 Januari 2021 , 09:18

Tulis Komentar

Lupa Password?

ATAU

MASUK DENGAN

Facebook
Google+
Belum memiliki Akun? Daftar Sekarang

Belum ada komentar.

Vista

Ironi Si Pengolah Sandi


  • Terbaru

KKP Dorong Penetapan Tiga Kawasan Konservasi Di Kalimantan
23 Januari 2021 , 18:00

BPSPL Pontianak akan melakukan penilaian evaluasi efektivitas pengelolaan di delapan kawasan konservasi yang sudah ditetapkan dan melakukan pendataan jenis ikan terancam punah

Total Penyebaran Covid-19 di Indonesia Hampir Sejuta
23 Januari 2021 , 18:00

Angka kesembuhan capai 791.059. Angka kematian mendekati 28 ribu jiwa

Menjaga Asa Tanpa Laga
23 Januari 2021 , 18:00

Pandemi membuat suporter tidak lagi bisa memenuhi tribun stadion. Hanya kecintaan terhadap tim kesayanganlah yang membuat mereka tetap bertahan, meski tanpa kepastian

Menjaga Asa Tanpa Laga
23 Januari 2021 , 18:00

Pandemi membuat suporter tidak lagi bisa memenuhi tribun stadion. Hanya kecintaan terhadap tim kesayanganlah yang membuat mereka tetap bertahan, meski tanpa kepastian

PELUANG USAHA

Modal Minim Bisnis Reparasi Kereta Angin
22 Januari 2021 , 20:22

Peluang laba dari pengelolaan bengkel sepeda masih terbuka lebar meski tren kemudian turun

Buah Senarai Samar Kompetisi
21 Januari 2021 , 21:00

Kelanjutan kompetisi masih tanda tanya. Beban klub tak tersolusikan

Kandas Laba Dari Olahraga
19 Januari 2021 , 21:00

Tak semua cabor bisa diadakan online. Faktor sponsor tetap menentukan

Bertabur Teman Baru Di Tengah Pandemi
18 Januari 2021 , 21:00

Pembatasan selama pandemi ini rentan memunculkan perasaan keterisolasian

Mencari Pengganti Kedelai
16 Januari 2021 , 18:00

Protein nabati pada kedelai paling lengkap. Rasanya membuat sulit tergantikan

Makanan Beku Untuk Kondisi Tak Menentu
15 Januari 2021 , 21:00

Sekitar 60% orang Indonesia lebih banyak ngemil selama pandemi dibandingkan sebelumnya

  • Fokus
  • Paradigma

Gaya Hidup Sehat Dan Bisnis Apparel Yang Melesat
21 Januari 2021 , 18:38

Pada masa pandemi, tampilan kasual yang dipengaruhi gaya sporty, akan tetap penting bagi pelanggan, khususnya Gen Z.

Menelisik Tren Mobil Listrik
18 Januari 2021 , 13:00

Mobil listrik mulai dilirik. Namun baru sebagian kelompok yang mampu menjamahnya. Selain faktor harga, ketersediaan fasilitas pendukung teknologi ini juga jadi pertimbangan calon konsumennya.

Krisis Repetitif Kedelai
15 Januari 2021 , 16:00

Tingkat konsumsi kedelai masyarakat Indonesia mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 7,97 kg/kapita/tahun

PSBB Total, MRT Lakukan Penyesuaian Operasional
14 September 2020 , 10:47

Ada pembatasan jumlah penumpang menjadi 62 -67 orang dalam satu kereta

BERSAMA BIJAK TANGGAPI BENCANA

Urgensi Ketegasan Dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia
27 Maret 2020 , 20:00

Ada indikasi bahwa pemerintah seolah gamang, dalam mengambil tindakan tegas untuk penanganan Covid-19

MENYESAP BAHAGIA DENGAN BERDERMA

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati
03 Februari 2020 , 18:19

Tren Filantropi dan Potensi Kebaikan Hati

 
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • Disclaimer & Privacy Policy
  • Kontak
© Copyright validnews.co. All rights reserved.