- Megapolitan
‘Tiki-Taka’ Kebijakan Banjir Jakarta
23 November 2020 , 21:00

JAKARTA – Jakarta dan banjir belakangan semacam sejoli. Keduanya hampir tidak mungkin bisa dipisah. Saban memasuki musim penghujan, hampir pasti sebagian wilayah Jakarta terendam air dengan ketinggian bervariasi.
Luasan Jakarta yang cuma 661,5 kilometer persegi, mungkin kini terlampau sesak untuk air meresap ke bumi. Gedung pencakar langit hingga jutaan rumah yang berdiri kokoh di atasnya. Ini bisa jadi menjadi penyebab air tak punya tempat untuk terserap, bahkan mengalir.
Pembangunan kerap tak mengindahkan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH). Tak heran, masyarakat Jakarta selalu dibuat tak berdaya kala musim penghujan tiba. Air setinggi mata kaki sampai sedada orang dewasa akan jamak ditemui di sudut-sudut kota.
Ada paradoks di Ibu Kota. Kebijakan tiap penguasa yang berbeda, masih belum bisa menyelesaikan persoalan banjir yang kadung mendarah daging. Muka tanah di Jakarta terus merosot, pemakaian air tanah secara berlebih di Jakarta membuat tanah turun paling sedikit 7 sentimeter (cm) per tahun.
Kebijakan yang dibuat tiap gubernur, kerap merupakan langkah pendek-pendek taktis, semisal ‘tiki-taka’ dalam langgam permainan bola Spanyol. Adapun goalnya, belum lah terlihat jelas.
Tak bisa dilawan, berdamai dengan banjir adalah keniscayaan masyarakat Ibu Kota. Kini di tengah pandemi covid-19 yang melanda Indonesia, persoalan banjir kian menjadi momok. Pasalnya, covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Jika banjir tiba, pengungsian bisa menjadi klaster baru penyebaran.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta mahfum soal ini. Mereka menyiapkan diri. Adalah jamak jika pada kuartal keempat saban tahun musim penghujan tiba. Sebagai langkah yang dipikir, adalah mengulir wacana menjadikan hotel bintang satu dan bintang dua sebagai tempat rujukan tempat pengungsian korban banjir.
Kepala Seksi Darurat dan Penanganan Pengungsi BPBD DKI Jakarta Wardoyo mengatakan, program tersebut pertama kali dicetuskan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Saat ini, pemprov masih melakukan pendataan titik-titik pengungsian yang ditetapkan oleh masing-masing kelurahan.
Hotel akan menjadi opsi berikutnya ketika tempat pengungsian yang ditunjuk oleh kelurahan sudah tidak bisa menampung warga. Alasan mendasar, Jakarta masih menjadi episentrum penyebaran covid-19. Konsekuensinya, tempat penampungan harus tetap menjalankan protokol kesehatan. Hotel dinilai bisa menjalankannya. Logis juga. Jangan sampai sudah menjadi korban banjir, masyarakat juga menjadi korban corona. Namun, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria merespons dingin.
Buatnya, hotel sebagai tempat pengungsian banjir menjadi pilihan terakhir. Pria yang akrab disapa Ariza ini mengatakan, Pemprov DKI Jakarta akan menggunakan terlebih dahulu fasilitas yang ada di sekitar lokasi banjir dan bukan hotel di tengah kota. Buat Wagub, kebiasaan masyarakat Indonesia yang tidak mau meninggalkan rumah meski di tengah bencana menjadi perhitungan.
"Mereka (masyarakat) juga rata-rata mengungsi tidak mau jauh-jauh dari lingkungannya," kata Ariza, Senin (9/11).
"Masih ada tempat yang biasa digunakan seperti balai pertemuan--balai rakyat, dan Gedung Olah Raga (GOR)," lanjutnya.
Pada kesempatan berbeda, Kepala Pusat Data dan Informasi BNPB Raditya Jati menjelaskan wacana ini. Ia mengaku pemerintah tidak mau ada penularan atau klaster baru karena adanya pengungsian. Tak sembarang hotel juga bisa menjadi rujukan. Yang dipilih adalah yang menjalankan protokol kesehatan yang benar.
"Kalau bisa 50% dari kapasitas (pengungsian) itu bisa dimanfaatkan. Jika memang tidak ada maka akan dimanfaatkan wisma atau hotel yang bintang satu atau tingkat melati yang sifatnya bisa dimanfaatkan untuk tempat pengungsian untuk sementara," kata Raditya kala berbincang dengan Validnews, Selasa (17/11).
Di sisi lain, anggaran menjadi persoalan. Pemerintah menyadari akan munculnya kekhawatiran warga menanggung biaya sewa kamar pengungsian sendiri. Persoalan ini juga dibahas.
"Kita juga harus tahu mereka dilanda bencana kita memaklumi mereka dalam kesulitan banjir. Mereka harus mendapatkan tempat yang lebih baik untuk istirahat tetap jaga protokol kesehatan dalam hal pengungsian," urainya.
Ada pun ‘kegentingan’ perlunya pengungsian yang bagus, juga merujuk pada prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebutkan beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami banjir akibat fenomena iklim La Nina. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebutkan banjir diprediksi akan terjadi mulai November 2020 sampai Januari 2021. Jakarta, ditegaskan BNPB, harus bersiap.
"Ini kan menyiapkan tempat untuk masyarakat yang terdampak. Pola pikirnya sesederhana itu," ujarnya.
Perkara banjir di Jakarta memang tidak bisa disepelekan. Menilik sejarah banjir di Ibu Kota pascareformasi, setidaknya ada empat banjir besar yang pernah mengepung Jakarta. Luasan area banjirnya pun beragam. Pada tahun 2007, seluas 355 kilometer persegi wilayah Jakarta terendam banjir. Bahkan pusat kota, sampai Istana pun tak absen dari genangan.
Pada tahun 2013, 230 kilometer persegi, tahun 2015, 281 kilometer persegi, dan awal tahun 2020 seluas 156 kilometer persegi wilayah Jakarta terendam banjir. Berdasarkan kasus terbaru pada awal tahun 2020, sebanyak 269 lokasi pengungsian dibuat darurat dengan total pengungsi sebanyak 36.445 dan 19 diantaranya meninggal dunia.
Bank Indonesia (BI) Perwakilan DKI Jakarta mencatat bencana banjir yang terjadi di Jakarta pada awal tahun 2020 itu menyebabkan kerugian materiil sebesar Rp960 miliar sampai Rp1 triliun. Adapun kerugian immateriil sudah tidak bisa dihitung pastinya.
Gayung Bersambut
Menjadikan hotel sebagai pengungsian, disambut Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) DKI Jakarta. Ketuanya, Krisnadi mengatakan, opsi itu langkah yang sangat manusiawi. Sebelumnya, pengungsian banjir identik dengan tenda atau menyulap sekolah menjadi sarana.
Dia mengaku sudah mendengar hal ini. Karenanya, Krisnadi akan menawarkan beberapa hotel bintang satu dan bintang dua soal kesediaannya. Wacana ini, menurut Krisnadi sama halnya dengan memberdayakan hotel bintang tiga untuk isolasi pasien covid-19 dengan kualifikasi orang tanpa gejala (OTG).
"Kita tawarkan bagi hotel yang mau dan yang tidak mau, tidak bisa dipaksakan. Artinya, kembali ke pemilik hotel sendiri. Kalau pemilik hotel menganggap ini opportunity, juga berbuat secara kemanusiaan dan mereka mau, mereka akan dibayar sama pemerintah," ujarnya kepada Validnews melalui sambungan telepon, Senin (16/11).
Menyitat data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta per tahun 2019, terdapat 991 hotel berbintang di Jakarta. Rinciannya, Jakarta Selatan: 61 Hotel, Jakarta Timur: 53 Hotel, Jakarta Pusat:372 Hotel, Jakarta Utara: 66 Hotel, Jakarta Barat: 134 Hotel, dan Kepulauan Seribu: 305 Hotel.
Jakarta tercatat memiliki sebanyak 29 hotel bintang satu dan 88 hotel bintang dua. Hotel tersebutlah akan dipakai sebagai lokasi pengungsian korban banjir nanti.
Soal pembiayaan, per harinya, Krisnari menyebut berada di kisaran Rp100 ribu–250 ribu. Nantinya satu kamar bisa diisi oleh satu keluarga. Hal itu jelas berbeda dengan pasien isolasi mandiri covid yang satu kamar hanya boleh diisi satu orang. Dengan skema tersebut tentu makin meringankan anggaran pemerintah. Dia menukas, ini bukan agenda aji mumpung bagi pengusaha hotel. Meski bisnis hotel terhempas akibat pandemi, wacana ini menurutnya tak lebih dari mengisi kekosongan kamar.
"Tapi apakah artinya harganya bisa mereka naikkan? Ya tidak bisa. Kan pemerintah sudah ada anggarannya," lanjutnya. "Apa yang bisa kami dukung, akan kami dukung."
Terkait penerapan protokol kesehatan bagi calon pengungsi, ia memastikan semua hotel kini sudah menjalankan anjuran pemerintah. Lagi pula, untuk kalangan tertentu, adalah fenomena tahunan warga menginap di hotel tiap banjir merendam kediaman. Namun, yang biasanya menjadi tujuan, adalah kelas bintang tiga dan bintang empat.
Anggaran Membengkak
Mengenai anggaran, ternyata juga disoal dewan. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta banyak mendukung. Tidak sedikit yang menolaknya.
Anggota Komisi C sekaligus Anggota Badan Anggaran DPRD DKI Jakarta, S. Andyka, salah satu yang tegas menolak wacana tersebut. Menurutnya, kondisi pandemi covid-19 di Indonesia membuat ekonomi semakin sulit. Dia lebih mendukung pemberdayaan gedung-gedung pemerintah, GOR dan lain-lain sebagai lokasi pengungsian korban banjir.
"Kenapa ke hotel? Kondisi ekonomi kita hari ini sedang sulit. Kemudian kemampuan keuangan daerah juga sedang kurang baik. Maksimalkan saja tempat yang ada sarana dan prasarana milik pemerintah," ujar Andyka ketika berbincang melalui sambungan telepon, Jumat (6/11).
Daripada untuk membayar hotel, menurut Andyka, lebih baik anggarannya digunakan untuk kepentingan yang lebih penting. Dia menyitir, bantuan sosial masyarakat dan bantuan kepada pemilik usaha mikro kecil menengah (UMKM) jauh lebih penting.
Buatnya, masalah penerapan protokol kesehatan di pengungsian bisa diatur. Selama ada petugas yang melakukan monitoring dan pengawasan di lokasi, hal itu tak masalah. Banyak juga yang sependapat dengannya.
Kapusdatin BNPB, Raditya Jati mengamini yang disoal Dewan. Anggaran penyewaan hotel itu akan menggunakan pendanaan daerah. Namun DKI Jakarta, menurutnya tidak serta merta mengeluarkan uang untuk penyewaan hotel saat banjir tiba. Ketika status pengungsian memasuki situasi tanggap darurat, opsi ini dieksekusi.
"Jadi memang era covid ini buat kita harus hati-hati soal protokol kesehatan. Mekanisme selanjutnya kalau tanggap darurat dananya bisa menggunakan dana siap pakai yang ada di daerah," jelasnya.
Kini, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta Tahun 2021, sebanyak Rp4,05 triliun disiapkan untuk penanganan banjir. Akan tetapi, hal tersebut belum final dan masih terus dibahas oleh DPRD.
Persoalan beban anggaran, kata Raditya, akan terus menjadi fokus pembahasan finalisasi wacana ini. Sementara, soal teknis kapan finalisasi wacana tersebut diputuskan, Raditya berujar semuanya akan final tergantung kesiapan daerah masing-masing. BPBD DKI Jakarta menurutnya lebih paham soal ini.
Saat Validnews berupaya mengonfirmasi hal ini ke Plt Kepala BPBD DKI Jakarta Sabdo Kurnianto, tak ada jawaban. Sabdo hanya menyatakan, keputusan tersebut ada di BNPB.
"Itu dibicarakan mekanismenya sama BNPB, itu BNPB yang mengatur dan support. Mekanismenya sedang dibahas," ujarnya singkat kepada Validnews.
Di mata pengamat tata kota, Trubus Rahadiansyah menjadikan hotel sebagai tempat pengungsian memiliki banyak risiko. Banyak hotel yang dekat dengan keramaian seperti mal. Kondisi ini justru berpotensi menyebabkan penularan.
Ia pun sangsi dengan hotel bintang satu dan bintang dua yang akan diberdayakan. Daripada hotel, Trubus menyarankan pemprov berkoordinasi dengan RT atau RW untuk tempat pengungsian yang memenuhi standar protokol kesehatan.
Trubus menilai, wacana ini tidak masuk akal. Hotel, menurut Trubus, sejak awal tidak dirancang untuk menampung orang. Jika dipaksakan, klaster covid dari sana besar kemungkinan akan terjadi. Tak hanya itu, ia menilai wacana ini sangat rentan akan penyimpangan anggaran.
"Ada kesulitan pengawasan, kan perlu partisipasi publik yang tinggi. Artinya, masyarakat harus dilibatkan kalau tidak, tentu itu bisa menjadi kontra produktif. Artinya, justru nanti di situ tempat yang horor bagi penularan covid," ujarnya, Rabu (11/11).
Wacana ini, menurut Trubus tak ubahnya sebagai panic policy dan merupakan misi mustahil. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, ia tidak melihat adanya kemajuan yang signifikan terkait penanganan banjir di Jakarta. Singkatnya, wacana ini seperti langkah pasrah Pemprov DKI Jakarta. (Dwi Herlambang)
Tulis Komentar
ATAU
MASUK DENGAN